Film Jelek yang Disukai Rezim

Saya teringat ketika SD pernah menonton film Lady Terminator (1988) di sebuah acara layar tancap. Saat itu, saudara saya di Cilamaya sedang mengadakan syukuran, dan layar tancap sengaja dipasang sebagai hiburan warga. Seingat saya, ada beberapa film yang diputar hari itu, termasuk film Warkop DKI. Sedangkan Lady Terminator kebagian diputar menjelang tengah dini hari, dan usut punya usut, hal ini dilakukan karena filmnya memang sarat akan muatan seksual.

Ingatan saya akan alur ceritanya mungkin sudah samar-samar. Tapi yang pasti, di sela-sela sekuens aksinya yang bombastis, tubuh aktris utamanya yang berasal dari luar negeri, berkali-kali ditampilkan melalui sudut pandang male-gaze. Dalam ceritanya, hal itu dijadikan pengalih perhatian dalam melancarkan misi balas dendamnya.

Sebagai anak SD, saya tentu gak pernah kepikiran akan kompleksitas dibalik film semacam itu. Tapi jika dipikir lagi setelah dewasa, film semacam Lady Terminator lahir bukan sekedar jadi hiburan belaka, melainkan sebuah medium alternatif untuk melarikan diri dari represi dan rutinitas hidup sehari-hari. Bisa dibilang, film yang lahir di suatu massa seringkali menjadi cermin dari kondisi sosial-politik yang melingkupinya.

Sejumlah literatur memang memvalidasi dugaan saya, bahwa rezim orde baru senang ketika masyarakat bersikap hedon dan konsumtif, asal jauh dari aktivisme atau paham yang dianggap mengancam stabilitas negara. Dengan kata lain, pemerintah berusaha keras menjauhkan masyarakat dari segala bentuk saluran kritik. Salah satu cara yang dipilih adalah lewat industri film, yang dijadikan sarana eskapisme, agar publik tidak tersentuh hingar-bingar politik.

Pikir saya, rezim orde baru paham betul bahwa seni itu politis dan selalu beririsan dengan sektor strategis kehidupan publik. Sedangkan film adalah salah satu medium yang paling ampuh. Karena itu, pemerintah secara sadar memutarbalikkan fungsinya. Di satu sisi, film diarahkan untuk mendukung narasi pemerintah, atau menyebarkan propaganda seperti dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984).

Tapi di sisi lain, pemerintah sangat sensitif dengan film yang membahas kesenjangan sosial atau menyinggung citra aparat negara. Kalau gak salah ingat, pada 1973 Sjumandjaja sempat membuat film dengan judul awal Matinya Seorang Pegawai Negeri, yang akhirnya terpaksa diubah menjadi Si Mamad setelah berulang kali melewati dialog degan Lembaga Sensor. Perubahan judul dilakukan karena khawatir judul aslinya memberi kesan negatif terhadap citra pemerintah.

Menariknya, keterbatasan tersebut justru melahirkan film-film yang kayaknya cuma kepikiran pas otak lagi kepepet. Yaa… lihat saja film-film yang liar, campy dan absurd macam Lady Terminator bisa lahir dan jadi cult-classic. Pasalnya, film ini memasukan unsur-unsur yang gak kita duga bakal dilebur dalam satu film. Siapa coba yang kepikiran bikin imitasi film The Terminator (1984) yang dibungkus dengan mitos lokal Ratu Pantai Selatan?

Wajar saja kalau tekanan dari pemerintah terhadap film yang berbau kritik membuat sineas tidak memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi ide mereka. Jadi gak heran kalau film-film yang menjamur di periode tersebut, alhasil hanya berkutat di tema komedi, mistis dan terakhir yang paling ikonik, seksploitasi.

Bisa dibilang, film yang masuk ranah seksploitasi adalah film yang menonjolkan tubuh perempuan, adegan sugestif, serta nuansa erotis tanpa dasar narasi atau struktur cerita yang jelas. Meski mendapat pertentangan dari dalam industrinya, film seperti ini tumbuh subur di Indonesia, dan mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Film-film ini mudah dikenali hanya lewat poster dan judul vulgar yang terang-terangan mengumbar sensualitas, seperti Gairah Malam (1983), Permainan Tabu (1984), dan Memburu Perkasa (1985).

Berbeda dengan film bertema sosial-politik yang banyak dicekal, film seksploitasi relatif lolos karena dianggap hanya menyasar urusan moral. Rakyat yang sehari-hari dibenturkan pada tekanan sosial serta ketidakpastian politik, tentu seolah mendapat cara kabur sejenak dari realitas melalui film-film ini. Dan pemerintah senantiasa merawatnya, karena selaras dengan tujuannya dalam menghindarkan rakyat dari isu-isu negara.

Bagi pemerintah orde baru, hasrat seksual mungkin dimaknai sebagai bentuk pelarian yang aman. Karena tidak bersinggungan dengan struktur kekuasaan. Tubuh dijadikan tontonan, bukan suara. Moral dikontrol, tapi seksualitas dijual. Pada periode ini, fungsi film bergeser sebagai alat untuk menumpulkan kesadaran politik sekaligus menyalurkan hasrat kolektif agar rakyat tetap patuh.

Sebagai regulator, fenomena ini menyoroti perilaku hipokrit khas pemerintah. Di permukaan, pemerintah seolah menegakkan moralitas publik dan tak jarang mengurusi seksualitasnya. Namun secara kontradiktif, “mengizinkan” tubuh perempuan dieksploitasi dan dijadikan komoditas sekaligus difungsikan semacam katup pengaman semata demi melanggengkan kekuasaan.

Tapi jika ditarik jauh ke depan. Tanpa maksud membandingkan rezim mana yang lebih baik dalam hal menjauhkan masyarakat dari saluran kritik. Karena jelas, keduanya sama buruknya. Tapi pendekatan pemerintah orde baru dan pemerintah sekarang sangat berbeda. Orde Baru melakukannya secara halus dan implisit. Sementara pemerintah saat ini cenderung lebih terang-terangan dan tanpa rasa malu.

Contohnya, terkait demonstrasi Agustus kemarin, perwakilan media yang vokal menyoroti situasi politik bisa langsung dikriminalisasi. Pemerintah bahkan mampu mengintervensi TikTok untuk menonaktifkan fitur siaran langsung, demi meredam publikasi yang menampilkan citra aparatur negara secara negatif. Terbaru, wartawan CNN dicabut ID Pers jurnalisnya karena menanyakan soal MBG kepada Presiden. Bisa lihat kan perbedaannya?

Kini, distraksi sosial juga menjalar ke dunia digital. Lagi, ambil contoh saat demonstrasi Agustus lalu, dalam sekejap media sosial merubah isunya jadi penjarahan, rasisme dan perusakan fasilitas umum sehingga akar kemarahan rakyat tersamarkan. Memangnya kalian yakin kalau hal itu organik?

Alat kontrol sosial pemerintah tidak pernah hilang, ia hanya bertransformasi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Dari film seksploitasi yang dijadikan pelarian publik, kini bergeser ke medium digital dan algoritma. Dari eksploitasi tubuh perempuan hingga isu perceraian selebritis dijadikan katup pengaman, sementara makna dan kesadaran sosial perlahan dikikis.

Eskapisme idealnya berfungsi sebagai ruang aman untuk beristirahat sejenak dari hiruk-pikuk dunia yang kadang melelahkan. Dengan catatan, memungkinkan individu untuk bebas mengekspresikan serta mengeksplorasi hal-hal di luar batas realitas sosialnya. Namun, ketika ruang ini justru digunakan untuk menekan kreativitas dan membungkam kritik, maka esensinya sebagai bentuk kebebasan telah disalahartikan.

Dan seperti saya singgung di awal, film layaknya medium seni lain, entah itu lukisan atau buku, selalu erat kaitannya dengan sektor strategis kehidupan publik. Hal ini membuat pemaknaan saya terhadap Lady Terminator, yang saya tonton di layar tancap saat SD itu, menjadi lebih luas. Seksualitas yang dipertontonkan sepanjang film bukan sekadar objek hiburan semata, melainkan gambaran gamblang dari struktur patriarkal dan dinamika sosial-politik yang sedang berlangsung pada masa itu.

Ironis memang, dulu dikontrol lewat layar perak, sekarang lewat layar sentuh. Bedanya tipis, cuma resolusinya lebih tinggi. Toh, yang berubah cuma layar dan sutradaranya, ceritanya masih sama-sama klise.

Author

  • Andika Budiargo

    Merayakan film, mengolok Liverpool. Pengagum permanen FredelidaGM.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like