
Selayaknya yang sering digaungkan oleh Mas Wapres soal penggunaan AI. Mari awali tulisan ini dengan bertanya ke ChatGPT mengenai tanggapan Presiden soal ribuan anak yang keracunan setelah mengkonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG).
Tanpa melebihkan dan mengurangi, begini prompt yang saya ketik:
Jika sebuah negara mengadakan makan siang gratis untuk anak sekolah, kemudian ribuan anak keracunan setelah mengkonsumsinya. Sedangkan tanggapan presiden lebih membahas ke cara anak mengkonsumsinya langsung dengan tangan ketika ditanya soal insiden tersebut. Bagaimana menurutmu?
Dan beginilah jawaban dari ChatGPT:
Kalau melihat skenario itu, ada beberapa hal yang bisa dikritisi:
1. Fokus tanggung jawab – Program makan siang gratis adalah kebijakan negara. Jadi ketika ribuan anak keracunan, wajar publik berharap pemerintah (apalagi presiden) bicara soal penyebab utama: apakah dari bahan makanan, cara memasak, distribusi, penyimpanan, atau standar pengawasan. Kalau tanggapan justru menggeser ke cara anak makan (misalnya dengan tangan), itu terdengar seperti mengalihkan isu dari tanggung jawab penyelenggara ke perilaku anak.
2. Keselamatan publik – Dalam kasus keracunan massal, hal terpenting adalah transparansi investigasi, langkah darurat untuk menolong korban, dan jaminan agar tidak terulang. Kalau presiden tidak menekankan ini, publik bisa merasa pemerintah kurang peduli pada keselamatan.
3. Komunikasi publik – Ucapan pemimpin punya bobot besar. Fokus pada hal yang terkesan sepele (cara makan dengan tangan) bisa dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan ribuan anak yang sakit. Narasi seperti itu mudah dipersepsikan sebagai blaming the victim.
4. Dampak politik dan sosial – Respon semacam ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat pada program pemerintah. Padahal program makan gratis bisa bermanfaat jika dijalankan dengan standar higienis yang baik. Menurutku, yang lebih tepat dari seorang presiden adalah menegaskan bahwa pemerintah: akan mengusut penyebab keracunan, memastikan semua anak ditangani dengan cepat, memperbaiki standar distribusi makanan, serta tetap menjaga niat baik program tanpa mengorbankan keselamatan.
Dari jawaban AI di atas, mas Wapres benar. AI 1, Presiden 0.
Bagaimana bisa mesin yang bahkan tidak tahu rasanya lapar, lebih mampu memberi cara komunikasi publik yang lebih rasional dan empatik untuk dilakukan, dibanding seorang Presiden yang punya tim ahli, juru bicara dan akses informasi lengkap terkait fakta di lapangan?
Kasus keracunan MBG ini contoh telanjang untuk kesekian kalinya pemerintah dengan enteng menyalahkan masyarakat atas kegagalan sistemnya, alih-alih berbicara soal evaluasi pengadaan bahan baku, pengawasan dapur atau skema distribusi. Pada akhirnya yang jauh lebih beracun daripada nasi kotak basi adalah ucapan pejabat yang selalu melempar kesalahan ke rakyatnya sendiri.
Padahal, terlalu naif menjadikan makan dengan tangan biang kerok tunggal. Saya sendiri kalau makan pecel ayam di Ohim, lauk masih panas langsung ditubruk pakai tangan tanpa cuci tangan dulu pun, gak pernah berakhir keracunan.
Masalahnya pemerintah kita bukan hanya gemar menyalahkan rakyatnya. Tapi juga mengalami gejala tone deaf. Statement Presiden yang bilang kalau kegagalan MBG itu hanya 0,00017% sangat menyakitkan. Pasalnya rakyat seringkali direduksi jadi sekedar angka. Anak-anak yang keracunan hanya jadi footnote dalam laporan. 0,00017% itu mungkin aman di meja presentasi, tapi tak sebanding dengan ribuan anak yang mual, muntah, pingsan hingga kejang-kejang dan harus dibawa ke IGD.
Tapi melihat gaya rezim yang military-sentris. Saya curiga kalau pola komunikasi publik yang buruk itu bukan sekedar salah ucap atau kurang sensitif. Ia memang lahir dari struktur politik yang terbiasa memelihara patronase dan mencari kambing hitam, bukan akuntabilitas.
Dalam hal ini, komunikasi publik bukan alat menjelaskan dan bertanggung jawab, melainkan bagian dari jatah kuasa. Siapa yang boleh bicara dan siapa yang harus disalahkan. Kayaknya sih memang default-nya komunikasi pejabat kita itu begitu, sebagai pelanggengan simbol kekuasaan.
Mengenai program MBG-nya sendiri, bagi saya ini hanyalah wajah lain dari pola lama pemerintah yang seringkali menjaga rakyatnya untuk bermental konsumtif. Merawat masyarakat dalam kondisi lapar agar setiap suap terasa seperti kemurahan hati penguasa.
Hegemoni itu bekerja halus, dengan membuat rakyat bergantung. Dengan logika ini, perut kenyang jadi bukti negara hadir. Padahal akar persoalannya tidak pernah benar-benar tersentuh.
Fredel pernah cerita ke saya, ada ibu-ibu di TikTok yang bilang kalau anak-anak yang sebelumnya gak bisa makan daging, jadi bisa makan daging berkat MBG. Nah, bukankah disitu letak masalahnya? Kenapa akses daging murah atau pangan bergizi begitu jauh dari masyarakat? Selama akarnya dibiarkan, MBG ini cuma jadi obat bius yang menenangkan sejenak. Rakyat seperti didorong untuk menerima, bukan membangun. Diberi uang selembar, nasi kotak sehari, sembako sesaat, tapi tidak diberi alas kaki ketika memijak kerikil-kerikil yang menghalangi jalannya untuk berdaya.
Gong-nya justru kadang pemerintah sendiri yang rungsing setiap kali rakyat mengeluh. Misal rakyat protes soal harga cabai mahal. Ada saja anggota DPR yang jawab enteng,
“Ya tanam sendiri”
Padahal, bukankah memang tugas negara untuk memperbaiki persoalan-persoalan seperti ketahanan pangan? Jangan-jangan pemerintah merasa semua urusan sudah selesai begitu bansos dibagikan.
Pertanyaannya justru lebih mendasar. Apakah petani benar-benar diberi akses memadai ke bibit, pupuk atau teknologi yang bisa meningkatkan hasil panen? Apakah ada regulasi tegas yang melindungi petani kecil dari tengkulak nakal? Apakah pedagang dijamin terbebas dari pungutan tetek-bengek yang justru membuat mereka merugi jika tidak melambungkan harga dagangan? Dan apakah pemerintah memiliki cadangan nasional yang cukup untuk menstabilkan harga saat musim paceklik?
Pada akhirnya, MBG bukan masalah setuju atau tidak setuju programnya dijalankan. Walau saya masih bakal menggerutu sih kalau pemerintah tidak memperhatikan akar persoalannya. Tapi yang terpenting adalah memastikan bahwa setiap anggaran yang digelontorkan benar-benar berujung pada pemenuhan gizi anak, bukan terkesan “sudah memberi” yang berujung membahayakan. Ingat bahwa 0,00017% itu manusia, lho.
Dengan maraknya kasus keracunan massal, pemerintah seharusnya lebih legowo untuk menerima kegagalan dan melakukan evaluasi menyeluruh untuk menemukan sumber penyebabnya. Tanpa itu, kayaknya semua kecurigaan kami akan tervalidasi kalau MBG cuma proyek simbolik semata atau lebih tepatnya cuma ajang bagi-bagi kue, seperti yang coba ditangkap dari lukisan “Si Tua Mayor”-nya Fredel.
Soal ucapan pemerintah yang seringkali serampangan, jujur saja saya gak berharap banyak bisa berubah. Karena saya semakin yakin kalau itu bukan hanya sekedar lidah yang pacaletot. Saya jadi teringat video dua pejabat yang ditanya lebih baik rakyat yang sengsara atau pejabat yang sengsara, dan jawaban keduanya tanpa ragu, rakyat!
Barangkali memang itu sudah jadi muscle-memory di kalangan pejabat yang berada di ekosistem politik dengan pola kuasa yang sejak awal memang tak menempatkan rakyat sebagai subjek utama, melainkan sekedar pernak-pernik demokrasi. Saran saya, kalau pemerintah gak merasa malu, ganti saja juru bicaranya dengan AI yang lebih tahu bagaimana caranya kasih statemen yang lebih empatik.
Aduh, jujur saja, makin ujung tulisan ini terdengar seperti tulisan kader HMI. Namun, dari seluruh pembahasan terkait MBG dan komunikasi publik pemerintah ini. Satir terbesarnya adalah, rakyat seperti dipaksa menelan dua racun sekaligus. Racun makanan yang lalai diawasi dan racun narasi pejabat yang selalu menyalahkan mereka.