
Siapa yang waktu scroll tiba-tiba pengin ludahin layar pas lewat video menag bilang,
”Kalau mau cari uang jangan jadi guru.”
Saya sih nggak, cuma sedikit kesal saja dan banyak merenungnya. Selain karena capek melihat berita dan konten di sosmed yang isinya pejabat asbun, gosip perceraian seleb, ya pasti influencer yang debat sama banyak orang.
Makin ke sini saya semakin memikirkan ulang keputusan saya menjadikan guru sebagai profesi, saya ingin mendapatkan uang dari pekerjaan lain.
Meski saya harus syukuri, tempat saya mengajar saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan tempat saya mengajar dulu. Alhamdulillah, banyak aspek yang jauh menguntungkan yang salah satunya terkait pembayaran. Tetapi bersyukur adalah satu hal dan menjadikan guru sebagai profesi adalah hal lain.
Sebagai genzi, bagi saya guru bukan profesi yang keren (kalau sangat sulit untuk dibilang menyejahterakan).
Menjadi guru artinya saya harus siap menerima jobdesc yang gokil, kata Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat(1), guru harus punya 4 kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial serta kompetensi profesional.
Ternyata menjadi guru bukan hanya memerlukan kemampuan mengajar. Pedagogik yang di dalamnya juga banyak sekali turunan-turunan kemampuannya ternyata hanya seperempat syarat yang dibutuhkan untuk menjadi guru.
Belum lagi ada kompetensi kepribadian, yang kalau kita lihat ke web Ruang GTK, indikatornya adalah guru mesti memiliki kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Pada titik ini saja sudah menyulitkan saya sebagai genzi yang sering overthinking.
Ada juga kompetensi sosial, guru mesti andal dalam menjadi mediator berbagai pihak. Mulai dari peserta didik, wali murid, bahkan sekolah dan yayasan itu sendiri. Ini belum termasuk juga saat-saat ketika guru juga harus menjadi EO di acara-acara yang sudah sekolah rancang.
Saya merasa belum pantas menjadi guru yang baik dan keren setelah membaca kompetensi-kompetensi itu. Semua itu terdengar mulia dan hebat, tetapi bagaimana cara mengkonversi “harga” seorang guru dari hal-hal semacam itu? tak pernah hal-hal mulia itu dapat disalin ke slip gaji dengan: tunjangan komunikasi (dari kompetensi sosial) atau tunjangan rapat (dari kompetensi profesional) atau tunjangan teladan (dari kompetensi kepribadian) pokoknya hanya ada gaji pokok dan tunjangan jabatan yang rasanya kurang menjabat tangan kesejahteraan juga.
Guru Gen-Z dan Profesi Pilihan Lain
Setelah video menteri agama itu lewat saya jadi penasaran pilihan profesi lain yang sedang digandrungi genzi dan bagaimana sebenarnya guru genzi di masa kini.
Berselancarlah saya di Google, lalu saya menemukan data dari BPS Kabupaten Bandung: Gen Z lebih memilih berprofesi sebagai freelancer. Di laman lain yaitu Jatim Times, disebutlah bahwa industri digital dan kreatif menjadi pilihan yang paling diminati oleh genzi. Di IDN Times pada tahun 2022 merilis 14 pekerjaan impian genzi, dan dari 14 itu tidak ada bidang pendidikan.
Melihat artikel-artikel itu saya jadi makin gundah. Di mana posisi guru genzi sekarang?
Genzi yang disebut digital native karena lahir, tumbuh dan berkembang di era digital akan sangat akrab dengan era digital. Mungkin saja itu juga jadi salah satu alasan mengapa banyak genzi yang sekarang menggeluti profesi di industri digital dan kreatif. Tetapi dalam kasus guru apakah seperti itu?
Apakah guru-guru genzi sudah menggunakan ke-digital-an-nya untuk memudahkan dan berinovasi terhadap pengajaran yang mereka lakukan?
Pada sebuah jurnal yang ditulis oleh Silviyana*, Babul Bahrudin, Fika Anjana (2025) ternyata menunjukkan bahwa guru genzi lebih memilih pendekatan yang konvensional dan terkesan jadul.
Mulai dari metode pembelajaran, media, dan pemanfaatan teknologi. Tentu saja membaca artikel ini saya terkejut dan tertawa. Ini bisa saja terjadi karena kurangnya pelatihan dan pengalaman. Tapi ayolah mengapa demikian?
Pencarian saya berlanjut ke aplikasi TikTok. Aplikasi paling digital dan modern yang pernah saya temui. Dengan keyword “guru” dan “guru genzi” saya lebih banyak menemukan konten-konten lucu, bercanda, dan -sangat tidak keguruan (kalau merujuk ke 4 syarat tadi)- dari konten-konten itu.
Isi kontennya terkesan hanya membagikan hal-hal receh dan mengundang views saja seperti: seorang guru yang menanggapi aduan muridnya secara asbun, atau guru dan anak yang berjoget bersama membuat konten viral dan trend, atau bahkan guru-guru yang membuat konten guyonan romantis bersama muridnya.
Terlalu banyak konten “Guru Gen-Z Core” dibandingkan dengan ide pembelajaran atau pembelajaran yang seru.
Apakah dari sini semakin menunjukkan bahwa genzi lebih cenderung lihai dalam membuat dan memproduksi kelucuan dan kekocakan dibandingkan konten pembelajaran? Apakah dari sini jadi menunjukkan bahwa Gen-Z lebih cocok jadi konten kreator saja daripada menjadi guru? Entahlah… semoga tidak.
Saya sendiri setelah membaca dan mencari hal-hal tadi jadi semakin teringat video menteri agama kita. Apa benar kalau mau mencari uang jangan jadi guru? Bagi saya sekarang itu masih mungkin saja. Saya genzi dan muda, masih ada banyak kesempatan belajar untuk mengasah keahlian saya. Apalagi sebagai guru, sekarang sudah banyak hal-hal di luar mengajar yang saya tekuni di sekolah. Seperti menjadi panitia acara seminar menjadi pendongeng dan menjadi MC. Yang kalau diseriusi dan dimonetisasi salah satu saja mungkin bisa lebih mensejahterakan.
Maka menjadi guru semestinya bisa dijadikan profesi yang prestisius, yang memang diberikan imbalan besar. Seharusnya menjadi guru bisa membuat seseorang tidak harus memikirkan malam nanti akan makan apa. atau bisa membuat seseorang pamer di sosmed karena itu suatu yang dihargai, bukan karena ilusi-ilusi terkait kemuliaan dan lain-lain!
Khusus pada guru genzi, semestinya banyak diberikan pelatihan-pelatihan yang lebih mendalam. Agar kemampuan kami pada era digital ini benar-benar dapat teraduk manis dalam sistem pembelajaran, agar kami tidak sibuk membuat konten-konten lain dan dapat bahagia dengan membagikan keseruan pembelajaran.
Kembali ke video menteri agama yang bilang bahwa kalau mau dapat uang jangan jadi guru, bagaimana kalau itu memang benar? Lalu banyak genzi-genzi yang berpikir dan menyetujui hal itu?
Apakah kita akan segera kehilangan satu generasi yang tidak lagi mau menjadi pendidik? Karena nyatanya hidup tetap butuh uang, beras tidak bisa dibeli menggunakan slogan “pahlawan tanpa tanda jasa” atau lagu Hymne Guru saja!