
Prahara Agustus 2025 masih menjadi obrolan hangat di ruang publik: di tongkrongan, di warkop, hingga di teras-teras rumah warga yang gentengnya bocor ketika hujan. Kita bisa lihat dari mulai desakan organisasi masyarakat sipil mengenai pembentukan tim pencari fakta hingga reformasi Polri dan TNI akibat prahara Agustus bulan lalu. Bukan hanya itu, para demonstran yang ditahan sampai sekarang justru kelihatannya dan seakan-akan diakal-akali oleh aparat untuk dijadikan tersangka. Dua orang masih hilang, beberapa organisasi masyarakat sipil seperti KontraS concern dalam hal ini, mencari, saling bantu dan mengupayakan berbagai hal untuk bisa menemukannya kembali dan pulang pada keluarga.
Bulan Agustus lalu masih mengisakan satu kekecewaan. Presiden, dalam pertemuannya dengan para jurnalis di Hambalang, mengatakan bahwa tuntutan soal 17+8—tuntutan utama gerakan yang berisi 17 pasal reformasi keamanan dan 8 poin pemenuhan hak-hak sipil perlu didiskusikan dan didialogkan. Beberapa menteri dicopot setelah prahara Agustus ini, lalu kabinet dirombak. Saya melihat ini sebagai respon pemerintah terhadap situasi yang terjadi di bulan Agustus lalu, tetapi ini sama sekali tidak menjawab satu pun dari tuntutan. Kita bisa lihat, justru menteri keuangan yang baru dilantik ngomong di depan pers ceplak-ceplok kelihatan pongah sekali. Alih-alih bisa memberikan jawaban atau penyegaran terhadap situasi, justru malah membuat masyarakat kembali jengah ketika melihatnya.
Sebagai pengantar ke inti persoalan, setelah melihat respons pemerintah yang setengah hati, kita perlu menyoroti persoalan yang lebih dalam: penangkapan aktivis dan penghilangan paksa.
Penangkapan Aktivis dan Penghilangan Paksa
Saya membahas satu per satu mengenai penangkapan dan penghilangan paksa dahulu setelah saya membeberkan sebagian prahara bulan Agustus kemarin di atas. Perkembangan demokrasi dan sosial-politik hukum hari-hari ini, kita bisa lihat dari mulai penangkapan aktivis dan tiga aktivis hilang, walaupun satunya sudah ketemu tetapi masih ada dua orang lagi yang sampai sekarang tidak ditemukan entah di mana keberadaannya. Direktur eksekutif Lokataru ditangkap dan beberapa aktivis seperti Sam Oemar juga sampai sekarang masih mendekam di penjara, dan ada beberapa ribu aktivis yang mengalami hal serupa bersamaan di Jakarta dan di daerah-daerah lain hingga ada yang hilang.
Kita lihat pola kepolisian dalam hal penangkapan dan penghilangan paksa ini. Ini sama sekali tidak berubah praktiknya dan kita bisa belajar dari tragedi malari 74, semanggi I dan II hingga reformasi 98. Saya melihatnya seperti luka lama yang menganga, seakan ada saja celah yang diakali untuk digunakan menjerat dan bukti-bukti untuk mentersangkakan terkesan sekali dipaksakan. Cara represif semacam ini membuat keretakan kecil di dalam hati bagi sebagian orang yang masih mempunyai moral dan nurani. Prahara Agustus kemarin, negara semacam ingin menghidupkan kembali wajah bengis, wajah kekerasan, dan wajah-wajah menyeramkan untuk mendalilkan bahwa aktivis-aktivis yang ditangkap adalah perusuh dan aktivis-aktivis yang ditangkap adalah kriminal.
Anehnya, polisi juga menyita buku-buku untuk dijadikan barang bukti. Aneh pula karena polisi tidak pernah belajar hukum dalam konteks negara hukum: sejak kapan menyampaikan pendapat dipidana dan dipenjarakan?
Bukuku, Bukumu, dan Buku Kita Semua
Semua dalih dari pihak aparat dalam hal ini kepolisian—mereka bilang bahwa apa yang dibaca akan mempengaruhi tindakan. Betul, itu betul. Tetapi berbeda konteks: tindakan-tindakan seperti menyampaikan pendapat dan berserikat berkumpul justru dilindungi undang-undang, dan saya tidak perlu mencantumkan pasal di sini karena semua sudah tahu pasal berapa di undang-undang mana mengenai ini. Alih-alih pihak kepolisian harusnya sadar mengenai itu, justru malah memperluas upaya pencarian bukti, sampai-sampai buku dijadikan barang bukti.
Mereka tidak paham apa itu anarkisme di dalam sistem demokrasi seperti Indonesia sekarang. Buku-buku dirampas, rumah digeledah, kantor didatangi, dan buku dijadikan barang bukti. Buku-buku Emma Goldman, buku Romo Magnis Suseno, buku Pram Bumi Manusia dan masih banyak lagi. Bagaimana bisa aparat mengetahui bahwa terjadinya kerusuhan itu disebabkan oleh buku atau anarkisme? Buku-buku tersebut terkenal di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia, dan itu pengetahuan nyata. Di tengah krisis literasi sekarang-sekarang, buku justru dijadikan bukti untuk menjerat para aktivis, dan anehnya anarkisme menjadi satu penyebab kenapa buku-buku tersebut dirampas.
Anarkisme yang Disalahpahami
Kenapa pemerintah gagal paham tentang apa itu anarkisme? Apakah mereka pernah mempelajari atau membacanya? Ataukah pernah sekadar melihat tindakan serupa atau menonton dan mendengar dari radio atau melihat televisi? Atau jangan-jangan mereka tidak pernah dengar, lihat, dan mempelajarinya secara langsung dan hanya tahu dari omon-omon sana-sini yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Keadaan seperti ini sungguh miris, keadaan yang tidak semua orang inginkan terlebih orang atau individu yang memperjuangkan hak dan kebebasan menyampaikan pendapat agar negara ini menjadi lebih baik. Seluruh dari tahanan politik dan para aktivis yang ditahan itu, semua dituduhkan membuat anarkis dalam prahara demo Agustus kemarin. Dan parahnya, polisi menyimpulkan dengan cacat secara logika dan penalaran hukum.
Begini, anarkisme menurut saya sengaja dipelintir oleh pihak aparat untuk menjadikan aktivis-aktivis itu sebagai tersangka, satu. Kedua, mereka sengaja mencari-cari dalang atau sengaja memaksakan karena mereka tidak mampu menemukan siapa dalang sebenarnya atau mungkin tidak ada dalang di belakangnya sama sekali dan semuanya murni gerakan moral dan nurani rakyat. Ketiga, mereka gagal dalam memahami anarkisme dalam konteks negara demokrasi dan seakan mereka ini nyaman dengan pola semacam ini dari dulu sampai sekarang.
Kalau kita baca, anarkisme itu bukan sinonim kerusuhan. Dalam akar sejarahnya, justru adalah gagasan tentang penghapusan otoritas yang sewenang-wenang dan penegakan prinsip solidaritas horizontal. Di dalamnya ada nilai mulia yaitu gotong royong, persis seperti kultur bangsa ini, tetapi justru mereka salah kaprah memahaminya. Mereka bilang bahwa anarkisme adalah biang kerusuhan dan kriminal, lalu mereka seenaknya menangkap, seenaknya menjerat dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar dan dalih-dalih yang ngawur.
Ini bukan sekadar anarkisme. Ini soal hak dasar warga negara: hak kebebasan berekspresi, hak kebebasan berkumpul, hak untuk tidak dilangkan secara paksa. Jika kita diam hanya bukan karena kita anarkis, suatu saat buku-buku lain, ide-ide lain, dan orang-orang lain bisa dijadikan giliran berikutnya.
Demokrasi yang dikangkangi
Kita semua sudah melihat ini. Dulu Orde Baru menyebut semua penentangnya adalah “subversif” dan “komunis”. Kini berganti lagi, yaitu “anarko”. Dulu kita semua tahu kalau kita benar-benar belajar pada sejarah, buku-buku kiri itu dilarang. Kini buku-buku anarkisme disita dan dijadikan barang bukti. Tapi dari semua pelajaran sejarah dari rezim Orde Baru itu kita semua tahu akhirnya: represi tidak pernah benar-benar menang; gerakan rakyat justru malah menumbangkannya. Semua itu justru lahir karena pembungkaman oleh pemerintah yang dipaksakan terlalu lama.
Represi Agustus 2025 adalah cermin buruk negeri ini. Ketika buku dianggap ancaman dan demonstran dianggap musuh, yang bermasalah bukan rakyatnya yang bermasalah adalah negaranya. Setiap gas air mata, setiap buku yang dirampas, setiap nama yang hilang memperlihatkan kepanikan kekuasaan.
Kita tidak boleh tunduk pada ketakutan. Demokrasi hanya hidup jika rakyatnya berani bersuara, bahkan ketika suara itu membuat penguasa tidak nyaman. Jika kita memilih diam, kita menyerahkan masa depan kita kepada kekuasaan yang sudah terbukti tidak segan-segan menindas.
Dan di setiap tongkrongan, di setiap warkop, di setiap teras rumah yang gentengnya bocor, kita harus terus mengingat bahwa suara kita bukan sekadar gema prahara melainkan nafas yang menjaga demokrasi tetap hidup.
“Dari atas ke bawah yang ada adalah larangan, penindasan, perintah, semprotan, hinaan. Dari bawah ke atas yang ada adalah penjilatan, kepatuhan, dan perhambaan.”
Rumah kaca ― Pramoedya Ananta Toer