Demonstrasi Gen Z Nepal yang Tampaknya Lebih Visioner daripada Rencana Pembangunan Kita

Beberapa minggu terakhir, bendera Jolly Roger berkibar di Indonesia, Nepal, dan Prancis. Hal ini tak luput dari perhatian masyarakat Indonesia yang mengalami peristiwa serupa sebelumnya (meskipun kemarahannya berhasil diredam karena Daftar Tuntutan 17+8 akhirnya diserahkan). Gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipelopori Gen Z Nepal meluas begitu masif sampai orang-orang menyebutnya Gen Z Revolution.

Nepal, sebuah negara yang berbatasan langsung dengan Cina dan India ini memiliki akar permasalahan yang sama dengan Indonesia. Pemicu yang memantik aksi demonstrasi bahkan plek-ketiplek dengan yang menjadi pemicu demonstrasi di Indonesia. Pelambatan ekonomi, inflasi, pengangguran tinggi, flexing anak pejabat, dan yang paling memuakkan adalah: pemblokiran 26 media sosial termasuk Facebook, Instagram, Youtube, dan Whatsapp. Mirip dengan Indonesia, bukan?

Seperti biasa, aparat yang hanya punya satu jurus “Bungkam!” itu melangsungkan agenda represifnya. Mulai dari gas air mata, peluru karet, sampai peluru tajam betulan. Hasilnya, 72 orang meninggal, ratusan luka-luka. Alih-alih ciut, masyarakat Nepal semakin menjadi.

Gedung parlemen dibakar, pejabat ditelanjangi, sampai viral video Menteri Keuangan Nepal, Bisnhu Paudel, dikejar-kejar sampai memilih untuk menggulingkan diri ke sungai dengan tendangan terbang dari seorang pendemo. Hal yang memuaskan untuk kita, sebagai warga yang memiliki kekesalan yang sama kepada pemerintah.

Barang patut para pejabat kita merasa terancam atas kejadian itu, tapi seperti yang kita ketahui sekali lagi: mereka tak pernah belajar.

Di sisi lain, Menteri Energi Nepal bernama Sharad Singh mengikuti jejak Sahroni CS untuk kabur ke LN menghindari amukan massa, yang parahnya meninggalkan istrinya yang lumpuh di dalam rumah yang sudah dijarah dan dibakar warga. Unik bukan main, warga justru mengevakuasi istri Sharad Singh dengan menggotongnya. Entah apa jadinya jika di Indonesia. Bisa jadi amuk-amukan warga, bisa jadi dibawa ke rumah sakit untuk kemudian diamuk nanti, tapi intinya, warga Nepal patut diacungi jempol untuk hal ini. Minpang tahu dari sini.

Demonstrasi Nepal adalah suatu hal yang wajar dan menjadi wajib dilakukan ketika masyarakat terus ditindas.

Lalu, setelah kemarahan yang sebegitu besar di Nepal, apa yang terjadi?

Setelah demonstrasi reda, negara Nepal kosong dari kepemimpinan karena Perdana Menteri Sharma Oli mengundurkan diri waktu demonstrasi besar-besaran terjadi. Untuk sementara militer mengambil alih. Ini nih bagian gokilnya. Tidak seperti militer negara lain yang memanfaatkan situasi untuk mengkudeta atau mengambilalih negara, militer Nepal malah tidak melakukannya. Mereka justru berdiskusi dengan para pemuda/ warga sipil Nepal untuk menentukan arah baru Nepal dan akhirnya terpilihnya Perdana Menteri Nepal yang baru yaitu Shushila Karki, yang di-voting melalui aplikasi Discord. Discord, cuyTechonoloooogia~

Sistem demokrasi yang memangkas waktu, anggaran, dan tenaga. Benar-benar sistem demokrasi yang Gen Z abiez. Sebagai catatan, Nepal yang pada tahun 1955 baru diakui oleh PBB itu bahkan baru transisi dari monarki ke demokrasi tahun 2008 (baca di sini). Maka cocok betul kalau protes ini dikasih label revolusi anak muda~

Ngomong-ngomong soal anak muda, gak semua anak muda di Nepal menjadi bagian dari perlawanan. Yang tidak bergabung dalam lini perlawanan tentu za para muda-mudi yang kini disebut Nepokids. Ya, segeng sama Mario Dandy mungkin.

Nepokids dan Flexing

Yang bikin gerakan demonstrasi Nepal ini menjadi atensi juga bukan cuma karena skalanya, tapi konteks sosialnya yang mirip dan serupa. Di Nepal, sama seperti di Indonesia, Gen-Z terbagi dua: anak-anak medioker yang masih punya cicilan PayLater, dan anak-anak pejabat  selebritas yang hobi flexing, pamer kemewahan, seolah-olah dunia ada di telapak tangan mereka.

Bedanya, di Nepal, rakyat bereaksi dengan mengamuk. Di sini, rakyat sering kali cuma bisa menggerutu sambil menatap layar ponsel, seringkali masih mengidolakan. Bahkan bukan cuma Gen-Z, ya! Buzzer yang menjadi timses (waduh kalau bawa-bawa angka pasti dibilang Anak Abah lah kami ini), ya sebut saja influencer Raffi Ahmad, komika Marcell, lalu Nia Ramadhani, kemudian pecinta keluarga Solo, mereka bahkan masih disambut hangat dihadapan masyarakat dengan dalih gak jelas.

Padahal, coba kalau diingat, pernah kah kita mengingatkan Nia Ramadhani soal kasus Lapindo? Raffi Ahmad untuk tetot-tetot? For real? 

Jangan lupa menantu Jokowi makan roti seharga 400 ribu rupiah waktu beras naik dan minyak langka, wey.

Sebuah roti yang di depan rakyat jelata mungkin dianggap setara dengan ongkos hidup mingguan. Roti bukan sekadar roti, memang~ Roti pengingat kelas sosyel.

Serupa halnya ketika Nia Ramadhani tanpa rasa malu sedikit pun menunjukkan gaya hidup jetset yang bertolak belakang dengan realitas mayoritas masyarakat. Gak bisa kupas salak, lah. Apa, lah. Apa, sih?! 

Sejauh ini, Nikita Willy lolos dan gak jadi bahan kalau gak bisa nyapu sekali pun. Lalu Ahmad Dhani, dengan gaya lelaki bajingan embel-embel rockstar-nya, sering pula seksis dan diskriminatif. KDM gak terlewat, tak terhitung berapa kali dia bicara gak disaring. Tapi apa?

Orang-orang semacam itu masih punya tempat di masyarakat kita. Sehingga gak aneh, ketika demonstrasi kemarin pun, masyarakat kita terpecah menjadi masyarakat yang percaya bahwa Indonesia baik-baik saja dan demonstrasi dibuat sama Geng Solo, dibuat sama Anak Abah dan barisan sakit hati, dan masyarakat yang percaya bahwa ada yang gak beres betulan dengan negara ini.

Kesimpulan

Lalu, apa persamaannya dengan kita? Ya jelas ada. Kita juga pernah turun ke jalan, marah, nuntut perubahan. Tapi pejabat kita Gak ada yang mundur. Aparat? Jangan ditanya, galaknya kelewatan. Pokoknya kena pukul dikit, naik jabatan! Tersentuh sedikit pukul!

Di Nepal, demonstrasi bikin pejabat cabut, sementara di sini, kita justru makin sering dicekoki wacana “Jangan demo, bahaya.”

Kalau mau jujur, apa yang dilakukan anak-anak muda Nepal itu adalah bentuk cinta paling radikal ke bangsanya. Mereka sadar risikonya tapi mereka tetap maju.

Meskipun banyak pemberitaan yang menggambarkan bahwa demonstrasi Nepal ini terinspirasi oleh apa ayang terjadi di Indonesia tapi kita mesti mengakui bahwa dalam banyak hal gerakan mereka lebih sukses dari kita. Pejabat negara di sana mengundurkan diri ketika demo memanas nah di kita enggak ada yang gitu. Apakah kita bisa nih ngomong baik-baik sama aparat untuk menentukan arah laju bangsa. Ya gak mungkinlah, aparat kita kan galak banget.

Dah lah, suruh saja Nia Ramadhani ngupas salak sambil nyabu.

Minpang di sini~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like