
Dan ia masuk ke tempat damai; orang-orang yang hidup dengan lurus hati mendapat perhentian di atas tempat tidurnya. Yesaya 57: 2.
Tidak pernah ada yang mengajari saya ribetnya mengurusi kematian, dan kali ini saya akan membagikan sedikit cerita kepada teman-teman yang saya yakin cepat atau lambat, kalian pasti menjadi panitia kematian juga.
Saya sempat menulis keresahan saya soal biaya kematian yang diperlukan. Kira-kira setahun yang lalu, baca di sini. Faktanya, keuangan adalah hal yang bisa dicari, bisa digapai. Mental juga sebetulnya bisa dilatih, tapi masalahnya saya kan belum pernah latihan buat hal ini. Lalu yang terjadi?
Sebelum Ayah meninggal, pengetahuan saya soal mengurusi kematian bernarasumber Eja dan Sabrina. Ya ceritanya tentu saya tangkap, tapi saya betul-betul tidak pernah di-training. Saya pun termasuk orang yang jarang datang melayat, karena saya cenderung malas menangis, dan terlampau malas memikirkan,
“Kira-kira ke mana perginya orang-orang yang mati itu?”
“Apakah ruhnya masih di sini melihat kita?”
“Apakah benar ia melihat manusia yang menggerubungi jenazahnya?”
“Apa betul jika air mata pelayat jatuh ke kulitnya maka ia akan panas?”
“Apakah ia ketemu Tuhan? kalau ada, Tuhan yang mana?”
Hal-hal semacam itu mengganggu pikiran saya, dan saya tak sudi kalau harus memikirkannya.
Ayah saya meninggal dalam keadaan yang damai dan sakaratul yang senyap. Di dalam tidurnya ia menghembuskan napas terakhir. Ketika Uwa-nya Eja meninggal dalam kondisi yang hampir sama, saya pun mendengar “kejadian” yang sama. Proses ruh katanya ke luar dari mulut, dan tiba-tiba saja semuanya menjadi tenang sejenak sebelum diikuti tangisan dan kalimat-kalimat denial lainnya.
Saya ingat, waktu saya kecil, Ayah saya selalu berkata “Kalau mau tidur, habis bismika harus baca syahadat.”
“Kenapa, Yah?”
“Kalau kita meninggal dalam tidur setidaknya kita dalam keadaan Islam.”
Deg. Hati saya bergetar lagi sekarang.
Proses Mengurusi
Tentu ada rentang waktu sekitar 1 menitan untuk mereka yang baru saja melihat kematian di depan mata. Perasaan bingung seperti,
“Harus gimana?”
“Harus ngabarin siapa dulu?”
“Harus diapain ini mayat?”
Tapi karena saya sudah melaluinya, saya akan berikan beberapa tipsnya.
Yang Harus Disadari Pelayat
Oke. Ini terdengar kontorversi dan ngehek, tapi saya rasa ini penting untuk kamu yang memutuskan pergi melayat. Ada beberapa hal yang saya rasa sangat tidak etis dilakukan.
Sisanya, kalau kalian manusia saya rasa kalian harus sudah mulai mencoba untuk paham bahwa orang yang melayat tidak harus didatangi oleh orang yang berduka. Ayo, dong! Melayat itu berbeda dengan datang ke pernikahan orang! Jangan tanya kenapa meninggalnya kalau yang berduka tidak cerita sendiri. Ingat, ya! Jangan pernah melayat hanya untuk memuaskan rasa penasaranmu!
Orang yang berduka itu sudah lelah, kalau setiap ada tamu yang berbela sungkawa ia terus-terusan ditanya kronologi, ya nangisnya gak berhenti-berhenti! Saya melihat fenomena ini semakin melelahkan, terlebih, banyak juga orang-orang yang masih datang dan bertanya. Saya mulai berpikir, sepertinya untuk hal ini, harus membuat kronologi dalam bentuk QR supaya gak ditanya-tanya lagi.
Okay, kalau misalkan orang yang berduka sudah menceritakan segalanya. Kamu bisa berempati dengan tidak fafifu begini,
“Ih, padahal mah jangan berobat di dokter itu.”
“Duh, telat ya. Coba kalau tahu, dibawa ke si “ini” pasti bisa sembuh,”
Percayalah, hal-hal seperti itu gak akan membantu, dan gak ada yang bisa jamin itu jenazah bakal masih hidup kalau dibawa ke sana-ke sini.
Tahlil dan Segala Perayaan Lain yang Sedikit-Banyak Mengeluarkan Biaya
Sebelumnya saya sudah mengatakan kalau Ayah saya Muhammadiyah. Kenapa? karena ndk kebagian tambang. Xixixi. Tapi jujur, saya juga gak tahu kenapa Ibu memutuskan untuk menggelar tahlilan 7 hari berturut-turut. Dia pikir banyak uangnya kali anak ini.
Saya lalu kembali memikirkan sebuah hal semacam, “Kenapa ya harus tahlilan?”
Seolah-olah tahlilan adalah hal yang wajib, kudu, ulah hanteu! Padahal, tentu saja cicilan saja masih banyak dan saya berpikir “Kenapa saya harus menggelar tahlilan?”
Ada banyak hal yang saya rasakan saat itu. Hal-hal sesederhana menerima tamu menjadi sesuatu yang melelahkan untuk saya, dan dalam hal ini, rasanya tentu sangat menenangkan waktu ditemani Revi, Fahrul, Sidik, Farid, Sabrina, Aji, dan kawan-kawan JHB, termasuk juga Isda, Ekky, dan Andrut yang setia hadir dan menemani saya berkabung. Bebes tentu tak lupa!
Sepanjang saya hidup, rasanya ini adalah kepedihan yang mendalam, tapi sebagai Arini, saya harus tetap marah-marah! Soal hal-hal tak etis yang dilakukan beberapa orang pada saat saya berkabung, saya lalu mencurahkan hal itu kepada seorang teman (ex)kantor saya, dia bilang bahwa menerima tamu memang begitu melelahkan. Terlebih, saat si tamu berpikir bahwa dia adalah orang yang harus dihormati.
Bayangkan, mana ada orang yang berduka diminta untuk mendatangi tamu? Memangnya ini hajat orang nikahan?!
Saya lalu berdiskusi juga dengan seorang kawan yang mumpuni dalam keilmuan Islamnya. Doi professor, penelitiannya mencakup kultur Islam, stigma terorisme, dan lain segala macam dari London University. Intinya, beliau intelektual lah, beda dengan saya. Saya bersungut-sungut dalam Bahasa Enggres soal tahlilan, tapi kemudian dia bilang,
“Barangkali itu adalah satu-satunya yang bisa dilakukan. Orang-orang berkumpul di tempat Bapakmu biasa berada, menemani kesedihanmu dan keluargamu, meskipun aku tahu tidak semua orang di sana ada untuk membantu, tapi setidaknya itu perayaan terakhir yang bisa dilakukan untuk melepas kepergian Bapakmu.”
Saya lalu menyanggahnya dengan, “Ya iya, sih! Tapi kan coba kamu bayangin, masa aku harus siapin rokok, makan, dan blablabla”. Elias tidak terkejut, dia cuma menatap saya dan bilang,
“Saya tahu kamu marah, saya pun tahu tak seharusnya itu dibebankan kepada orang yang sedang berduka.”
Perasaan-Perasaan yang Dirasakan
Sejujurnya, saya dalam keadaan tertidur malam itu. Lalu dini hari pukul 1 atau 2, saya dibangunkan dengan “Neng, Si Ayah.”
Saya tak banyak bertanya. Saya hanya langsung terperanjat dan saya sudah mempersiapkan ini. Hanya saja, ada waktu yang bikin saya melongo dan
“Ini betul sekarang?”
Selebihnya, saya mungkin kebanyakan nonton film atau dengar pengajian mungkin ya, jadi perasaan yang saya dapat tentu saja akan berawal dari referensi yang saya telan sebelumnya.
Saya merasa Bapak saya berdiri di sudut ruangan, menjadi ruh, dan melihat saya serta semua yang berduka di sana. Saya merasa ruh Bapak saya menangis juga melihat kami. Eh, gak deng, karena itu Bapak saya, saya yakin ruhnya ngedumel.
Saya sering merasa dia hadir dan mengisengi saya yang sedang melamun. Kau tahu?
Perasaan seperti beliau hadir di kursi kereta, dengan bebas berlarian dan mengumpat, juga memanggil. Seperti begini,
”Neng, aku di sini!” dan saya langsung refleks melihat ke tempat saya merasakan kehadirannya.
Saya merasa selalu diawasinya, dan karena ini saya jadi ngerem seluruh kenakalan saya. Tapi ya lewat 40 hari saya sampai izin waktu mau nakal. Memang agak gila.
Entah, kalaupun memang gila juga gakpapa, kan memang iya.