
Suatu malam di Batavia, Amir Hamzah yang sedang dirundung galau berkunjung ke pondokan abang sepupunya yaitu Tengku Burhan di daerah Paseban. Amir Hamzah ingin curhat tentang masalah yang rasanya terlalu berat untuk ia pikul sendirian.
Hal pertama yang paling memberati hatinya adalah titah dari pamannya yaitu Sultan Langkat yang memintanya untuk menikah dengan anak perempuannya yaitu Tengku Kamaliah. Amir Hamzah ingin menolak tetapi ia tak enak hati sebab Sultan Langkatlah yang membiayai sekolahnya di Rechts Hoge School ini, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum di Batavia.
Di sisi lain Amir Hamzah telah memiliki gadis yang ia cintai yaitu Ilik Sundari yang ia kenal semasa sekolah bersama di AMS Solo.
Hal lain yang juga membebani pikiran Amir Hamzah adalah permintaan seorang kawan yang sedang menjadi mahaguru di Jepang, Purwodarminto, untuk menggantikannya mengajar bahasa Indonesia di sana. Purwodarminto sudah bosan tinggal di Jepang dan ingin pulang ke tanah air.
“Mengapa tidak kau terima saja pekerjaan di Jepang itu? Inilah cara sebaiknya supaya kau terlepas dari kewajiban, baik keluarga maupun sekolah. Kau akan kembali penuh pengalaman. Dan di sana kau digaji secukupnya pula!”
Nasihat itu pantas datang dari Tengku Burhan yang ringan hati. Namun, Amir Hamzah berlainan dari dia.
“Aku berhutang budi pada Sultan!” Jawab Amir Hamzah.
“Kau balaslah budi itu di lain waktu! Sekarang yang perlu adalah kau pikirkan dirimu sendiri!”
Tengku Burhan mengetahui hubungan saudara sepupunya itu dengan Ilik Sundari.
“Berangkatlah ke Jepang! Setelah mapan kau datangkan Ilik, lalu kalian menikah. Di sana juga ada orang Islam yang bisa menikahkan kalian,” saran Tengku Burhan.
Saran itu sangat menyenangkan untuk dibayangkan, tetapi Amir Hamzah terlalu berat hati memikirkan hutang budinya pada Sultan Langkat.
Satu hal yang mesti ditanyakan dalam masalah ini adalah mengapa sekolahnya Amir Hamzah mesti dibiayai oleh Sultan Langkat? Mengapa tidak oleh orang tua Amir Hamzah sendiri?
Beginilah penjelasannya.
Orang tua Amir Hamzah adalah Pangeran Adil dan Tengku Mahjiwa. Termasuk keluarga berada di tanah Langkat. Amir Hamzah yang lahir pada 29 Februari 1911 menempuh pendidikan di HIS Langkatsche School Tanjung Pura (1916-1924), Lalu MULO di Medan (1924-1926). Belum selesai masa pendidikannya di MULO Medan, Amir Hamzah mengutarakan keinginannya untuk pindah ke Batavia. Hal itu disanggupi oleh Pangeran Adil. Ayahandanya memang mengedepankan pendidikan kepada anak-anaknya. Selepas lulus dari MULO di Batavia (1927) Amir Hamzah tertarik untuk melanjutkan studinya ke Algemene Middelbare School (AMS) Solo–setara SMA (1927), jurusan sastra timur. Pangeran Adil menyetujui kehendak putranya sebab ia pun sedari lama sudah mencium minat putranya yang tinggi kepada kesusastraan.
Di AMS Solo inilah Amir Hamzah bertemu dengan Ilik Sundari. Gadis kecintaannya.
Ilik Sundari adalah putri dari pasangan Raden Mas Kusumodiharjo dan Raden Ayu Renuk. Rumah keluarga Ilik Sundari berada di sebrang jalan stasiun Balapan.
Perasaan cinta di antara Amir Hamzah dan Ilik Sundari bisa dibilang tumbuh melalui apa yang orang jawa sebut sebagai Tresna jalaran saka kulina, cinta disebabkan karena kebiasaan. Mulai dari saling pandang, sapaan, menjalar ke obrolan, dan benih-benih cinta pun mulai tumbuh di hati masing-masing.
Amir Hamzah dan Ilik Sundari pun terlibat dalam kelompok belajar bersama. Kegiatan kelompok belajar itu adalah bertukar kemahiran bahasa. Yang non jawa belajar bahasa jawa dari siswa asal jawa dan siswa asal jawapun belajar bahasa arab dari siswa sumatra yang terkenal bagus bahasa arabnya. Selain itu Amir Hamzah dan Ilik Sundari juga terlibat mengajar ke masyarakat untuk memberantas buta huruf.
Kedekatan Amir Hamzah dan Ilik Sundari mendapat tentangan juga dari ayah Ilik, Raden Mas Kusumodiharjo. Namun Ilik mengelak bahwa hubungannya dengan Amir Hamzah hanya sebatas persahabatan saja. Di zaman itu pernikahan antar beda suku masih amat ditentang.
Hubungan mereka justru makin dekat setelah berpisah dari AMS. Mereka rajin berkirim surat, mencurahkan perasaan masing-masing.
Setahun setelah lulus dari AMS Solo, Ilik Sundari yang ketika itu tinggal di Magelang bersama orang tuanya meminta untuk bersekolah di Hogere Kweekschool, Lembang Sekolah Tinggi Jurusan Keguruan. Maka Jarak Batavia-Magelang terlipat beratus kilometer menjadi Batavia-Lembang. Menurut buku yang ditulis NH Dini, Amir Hamzah Pangeran Dari Negeri Seberang, Amir Hamzah dan Ilik Sundari beberapa kali bertemu semasa itu.
Menjelang ujian kelulusan di AMS Solo, Amir Hamzah mendapat kabar kalau ibunya, Tengku Mahjiwa sakit keras. Ia ingin sekali dapat menengok tapi jarak antara tanah jawa dan Sumatra begitu jauh. Terlebih waktu ujian sudah dekat. Amir Hamzah hanya bisa mendoakan kesembuhan ibundanya.
Amir Hamzah akhirnya lulus dari AMS Solo jurusan ketimuran. Di saat bersamaan kabar duka bahwa ibunya meninggal sampai kepadanya. Amir Hamzah terpuruk dalam kesedihan.
Amir Hamzah tahu bahwa berlarut-larut dalam kesedihan takkan pernah memberikan hasil positif. Semangat belajarnya masih berkobar-kobar. Maka ia segera meninggalkan Solo untuk melanjutkan sekolahnya ke Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) di Batavia. Ayahandanya merestui niatan Amir Hamzah. Setelah menyelesaikan urusan pendaftaran dan menemukan pondokan di Batavia, Amir Hamzah pulang ke Langkat menziarahi makam ibundanya.
Seakan tak cukup dengan cobaan ditinggalkan ibunda, setahun berselang ayahnya, Pangeran Adil menyusul Tengku Mahjiwa berpulang ke rahmatullah.
Dari sini pulalah kiriman uang dari kampung yang menopang pendidikannya terputus.
Dua bulan – tiga bulan Amir Hamzah bertahan. Dia melamar pekerjaan sebagai guru di Taman Siswa dan Sekolah Muhammadiyah. Termasuk juga mengajar bahasa Indonesia untuk Maria Ulfah dan Sugiarti. Keduanya adalah guru sekolah menengah Muhammadiyah. Maria Ulfah mengajar bahasa Jerman dan Sugiarti mengajar bahasa Belanda. Pada mulanya bahasa pengantar yang digunakan Maria Ulfah dan Sugiarti adalah bahasa Belanda. Lama kelamaan mereka ingin juga melaksanakan realita berbahasa kesatuan, Bahasa Indonesia. Setelah bertanya kesana-kemari, seseorang dari Perguruan Rakyat merekomendasikan Amir Hamzah buat mengajari mereka Bahasa Indonesia.
Memang Bahasa Indonesia ketika itu belum terlalu populer. Bisa dibilang malahan tokoh terdidik Indonesia dulu itu berbahasa ibu dengan bahasa Belanda. Bisa dibuktikan jika mereka menghitung dalam hati, maka angka-angka yang disebutkannya adalah angka-angka Belanda. Sejumlah tokoh pejuang nasional seperti Dr Sutomo (Pendiri Budi Utomo) dan Dr Cipto Mangunkusumo menggunakan bahasa Belanda dalam berpidato.
Sekedar memberitahu, Maria Ulfah di atas adalah sosok yang kelak bakal menjadi Menteri Perempuan pertama di Indonesia.
Setahun setelah kematian Pangeran Adil kiriman uang dari kampung datang secara tidak teratur. Amir Hamzah mafhum bahwa mungkin kakak-kakaknya yang masih muda-muda itu belum dapat mengurusi keuangan keluarga sebaik ayahandanya, maka dari itu ia mengirimkan surat kepada keluarganya meminta tolong untuk mempertimbangkan bersama tentang kelanjutan sekolahnya. Karena memang bila keluarga tak bisa membantu lagi, Amir akan memutuskan untuk berhenti bersekolah.
Perundingan keluarga Amir Hamzah terdengar pula oleh pamannya, Sultan Langkat. Maka Sultan Langkat pun berbaik hati bersedia membiayai sekolah Amir Hamzah. Inilah yang menyebabkan Amir Hamzah merasa memiliki hutang budi pada Sultan Langkat.
Sebagai imbalan pembiayaan sekolahnya, Sultan Langkat meminta Amir Hamzah belajar dengan sungguh-sungguh. Amir Hamzah menyanggupi, hal tersebut tak perlu dipinta pun selalu ia laksanakan. Hasrat belajarnya selalu bergelora. Namun satu permintaan Sultan Langkat yang sulit Amir Hamzah turuti adalah agar Amir Hamzah menjauhi dunia pergerakan. Dari redaksi kalimat Sultan Langkat, Amir Hamzah mafhum benar jika Sultan telah mengetahui semua kegiatannya di kancah nasionalisme. Pasti informasi ini berasal dari polisi rahasia penjajah. Untuk syarat kedua Amir Hamzah pura-pura menurut.
Amat sukar bagi Amir Hamzah untuk keluar dari kancah pergerakan karena ia telah berada di dalamnya sedari muda sekali. Amir Hamzah adalah bagian dari kelompok anak muda yang memproklamirkan sumpah pemuda pada Oktober 1928.
Setelah itu Amir Hamzah menghindari rapat-rapat persiapan. Dia menolak mengikuti rapat dengan para pejuang terkenal. Namun itu hanya taktik belaka Amir Hamzah akan muncul jelang detik-detik rapat akan dimulai atau saat di tengah rapat. Itupun selalu datang lewat pintu belakang dan selalu duduk di tempat yang tidak mencolok.
Pada masa ini pula Amir Hamzah mendapat tawaran dari Sutan Takdir Alisyahbana untuk jadi anggota redaksi majalah Pujangga Baru bersama Armijn Pane yang sudah Amir Hamzah kenal karena sekolah bersama di AMS Solo. Amir Hamzah menyanggupi tetapi meminta agar namanya hanya dicantumkan sebagai pembantu tetap. Cara ini dipakai untuk menyamarkan perannya agar tak menarik perhatian pemerintah kolonial.
Kemudian titah Sultan Langkat untuk menikahi putri sulungnya pun datang. Hal ini disebabkan karena pemerintah kolonial memberitahu sultan bahwa Amir Hamzah masih aktif di pergerakan nasionalisme. Keputusan Sultan menikahkan Amir Hamzah adalah agar Amir Hamzah tetap berada di kampung.
Kerajaan Langkat amatlah tergantung pada pemerintahan kolonial. Sejak ditemukan minyak bumi di wilayah Langkat, rumah-rumah di Serangjaya dan Serbajaya dibongkar diganti jadi tangki-tangki minyak. Hasil minyak bumi itu meluncur ke negeri belanda berjuta-juta gulden dan kerajaan langkat menerima persenan dari jutaan gulden tersebut.
Bila Amir Hamzah tetap bergerak di kancah nasionalisme pemerintah kolonial bisa menurunkan persenan itu sekecil-kecilnya. Amir Hamzah mesti memikirkan kesejahteraan keluarganya, kesejahteraan kerajaan Langkat dan banyak anak-anak cerdas langkat yang sekolah di berbagai tempat seperti jawa, Riau, Arab dan Mesir yang dibiayai sultan Langkat. Tentu pula pemerintah kolonial akaan memberikan tekanan di bidang lain pula.
Amir Haamzah mengalah.
Amir Hamzah bersedia menikah dengan Tengku Kamaliah. Namun Amir Hamzah meminta izin untuk menyelesaikan dulu sekolahnya. Sultan Langkat bersiasat, sebelum berangkat Amir Hamzah dan Tengku Kamaliah harus menikah dahulu. Ucapara pernikahan diadakan seperlunya.
Bersama dengan pernikahan ini maka berakhir pula lah kisah cinta Amir Hamzah dengan Ilik Sundari. Yah, berakhir secara fisik saja sebenarnya. Di suatu waktu saat Amir Hamzah dan Tengku Kamaliah memiliki anak, Amir Hamzah berterus terang tentang cintanya pada Ilik Sundari yang tidak bisa hilang.
Menikah dengan Tengku Kamaliah, Amir Hamzah mendapat gelar Tengku Pangeran Indra Putera dari Sultan Langkat, mertua sekaligus pamannya itu. Dan mendapat pekerjaan sebagai wakil kepala Luhak Langkat Hilir dan Tanjung Pura. Kemudian berpindah ke Pangkalan Brandan, menjadi Kepala Luhak Teluk Haru. Hingga akhirnya dipindah lagi ke Binjai sebagai Pangeran Langkat Hulu.
Pernikahannya dengan Tengku Kamaliah dikaruniai seorang anak perempuan bernama Tahura Alautiyah. Sebelum melahirkan Tahura, Tengku Kamilah pernah mengandung namun keguguran sebab penyakit gula yang ia miliki.
Sayangnya Amir Hamzah tak berusia panjang untuk menemani kehidupan anaknya, Tahura. Ia meninggal pada usia 35 tahun dalam gelombang peristiwa yang disebut Revolusi Sosial 1946 di Sumatra Timur.
Revolusi Sosial di Sumatra Timur kala itu dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia yang menggerakan pemuda-pemudi serta kaum buruh dengan tujuan menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme. Beberapa kesultanan melayu seperti Deli, Serdang, Asahan, Langkat dan lain-lain menjadi target gerakan ini.
Secara garis besar meletusnya Revolusi Sosial ini terjadi karena sikap sultan-sultan, raja-raja yang feodal itu yang tidak terlalu antusias terhadap kemedekaan Indonesia. Sebab saat masa pendudukan Jepang, Pemerintah Jepang mencabut hak-hak istimewa kaum feodal ini, merampas semua perkebunan mereka dan diambil alih oleh kaum buruh. Para bangsawan tidak senang dan berharap mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan Belanda. Sikap itulah yang membuat kaum pro-republik marah.
Amir Hamzah yang merupakan bagian dari kaum bangsawan di tangkap oleh Amran dan Ali Dikker di kediamannya di Istana Binjai pada tanggal 7 Maret 1946. Awalnya Amir Hamzah ditahan di markas Pesindo, lalu dipindahkan ke daerah Kebon Lada, kira-kira 6 kilometer dari Binjai. Lalu di pindahkan lagi ke perkebunan Kuala Begumit.
Di perkebunan Kuala Begumit itulah Amir Hamzah menemui ajalnya, Pada tanggal 2o Maret 1946. Amir Hamzah dipancung oleh algojo bernama Yang Wijaya, seorang mandor yang kabarnya pernah bekerja di istana.
Jasad Amir Hamzah baru ditemukan pada November 1949. Berawal dari sidang atas hilangnya Philips Simanjuntak, kepala kantor pos Binjai. Seseorang yang dicurigai telah ditangkap dan mengaku telah membunuh Philips Simanjuntak. Pada sidang tentang nasib Philips Simanjuntak dibuka di Pengadilan Negri Binjai, berkas perkara pembunuhan Philips Simanjuntak berubah menjadi perkara lebih besar, ialah perihal pemancungan di Kuala Begumit.
jasad Amir Hamzah beserta tawanan lainnya ditemukan bertumpuk disebuah lubang galian di kebun kuala begumit dalam kondisi tak berkepala.
Pada 10 November 1975, Pemerintah mengangkat Amir Hamzah sebagai pahlawan nasional. Tahura sebagai satu-satunya ahli waris Amir Hamzah menghadiri pemberian gelar tersebut.
Sumber Referensi:
Amir Hamzah Pangeran dari Seberang, NH Dini
Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, S. Takdir Alisjahbana
Wikipedia