
Akhir-akhir ini, demonstrasi demi demonstrasi yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia memenuhi lini masa kita. Dari revolusi Pati, di mana rakyat turun ke jalan melawan arogansi pemimpinnya sampai ke Jakarta, ke tempat wakil rakyat sibuk menaikkan gajinya sendiri dan berjoget-joget ria di tengah penderitaan rakyat.
Ironisnya saat mendapat reaksi negatif dari publik, sebagian dari wakil rakyat itu malah menanggapi dengan melemparkan celotehan dengan nada mengejek yang provokatif. Mungkin sengaja atau tak sengaja? mungkin saja perilaku mereka itu dituntun oleh kedunguan yang begitu alami.
Dan kalau semua itu belum cukup, bulan kemerdekaan ini ditutup dengan kabar sangat naas: seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan (21) tewas terlindas mobil rantis Brimob saat sedang berdemo. Seorang rakyat kecil, yang sehari-hari bekerja memeras keringat untuk menyambung hidup harus meregang nyawa di bawah roda aparat yang seharusnya melindunginya.
Sebagai manusia, sulit sekali untuk tidak merasa marah dan sedih. Marah, karena nyawa manusia direnggut dengan begitu brutal. Sedih, karena korban merupakan satu dari sekian banyak rakyat yang sebenarnya tidak punya kuasa selain suara.
Oknum baik di tengah institusi yang busuk
Saya adalah anak seorang polisi. Suatu identitas yang terasa berat diumbar akhir-akhir ini. Padahal dulu, menjadi polisi adalah suatu kebanggaan. Ada rasa hormat yang melekat. Dulu, menjadi polisi adalah pekerjaan mulia, penjaga keamanan, penegak hukum, pelindung rakyat. Seragam cokelat itu dulu identik dengan wibawa. Kalau bapak atau ibu kita seorang polisi, ada semacam status terhormat di mata masyarakat.
Tapi sekarang, citra itu sudah nyungseb senyungseb-nyungsebnya. Polisi dipandang tukang peras, korup dan arogan. Dalam kasus-kasus seperti tragedi ojol kemarin, bahkan dilihat sebagai mesin pembunuh. Dan itu semua memang kenyataanya.
Saya tidak menyangkalnya, dan memang saya setuju dengan stigma tersebut. Ada banyak yang salah di tubuh POLRI. Dari kasus suap, kekerasan, hingga kelakuan aparat yang seakan lupa bahwa mereka digaji untuk melindungi rakyat, bukan menindasnya.
Masyarakat berhak marah. Wajar kalau mereka hilang kepercayaan. Karena apa yang terlihat di permukaan memang mengerikan: aparat lebih sibuk membela kepentingan penguasa. Nama baik polisi kini seolah tak ada artinya. Seragam cokelat yang dulu dibangga-banggakan itu, sekarang hanya bisa memantik rasa curiga dan kebencian di hati masyarakat.
Biasanya, kita mendengar istilah “oknum buruk” untuk menyebut aparat yang berbuat seenaknya. Kata oknum sendiri merujuk pada sekelompok kecil orang dalam suatu institusi, yang nakalnya dianggap tidak mewakili keseluruhan. Tapi sekarang, kondisinya terasa terbalik. Justru institusinya yang bobrok, sehingga yang tersisa hanyalah “oknum baik”, mereka yang masih mencoba bekerja dengan jujur di tengah lautan kebusukan.
Masih banyak polisi yang sebenarnya tulus. Polisi yang bekerja sekadar untuk mencari nafkah, menghidupi keluarga, dan menjalankan tugas menjaga keamanan. Mereka bukan pejabat tinggi yang dekat dengan kekuasaan. Mereka bukan aparat yang doyan pamer atau main kekerasan. Mereka hanya orang biasa yang berseragam, berusaha bekerja sesuai sumpahnya.
Ayah saya adalah salah satunya. Bukan polisi dengan jabatan tinggi, hanya bertugas di sebuah polsek kecil di sebuah kecamatan pelosok. Tidak punya akses ke kekuasaan, tidak punya privilege apa-apa. Yang dia lakukan sehari-hari hanyalah bekerja, menjaga wilayahnya sebisa mungkin, lalu pulang dengan tubuh lelah. Dan saya tahu, masih banyak polisi lain yang hidup dengan cara sederhana seperti itu.
Saya juga punya banyak teman yang kini sudah menjadi polisi. Saya mengenal mereka sebelum berseragam, ketika mereka masih remaja biasa yang bercita-cita sederhana. Dan saya yakin mereka orang baik, yang masuk ke institusi ini bukan untuk menindas rakyat, melainkan untuk melayani… benar-benar melayani.
Namun, siapa yang peduli pada polisi-polisi baik ini? Ketika institusi sudah telanjur busuk di mata publik, yang baik pun ikut tercoreng. Satu kesalahan dari aparat di layar televisi atau media sosial, cukup untuk menghapus keringat dan dedikasi ribuan polisi yang bekerja dengan jujur dan tulus.
Tragedi ojol yang tewas terlindas mobil rantis Brimob seharusnya tidak pernah terjadi. Itu bukan sekadar kecelakaan. Itu adalah tanda betapa jauhnya aparat dari rakyat, betapa rapuhnya kepercayaan kita pada institusi yang mestinya jadi pelindung. Seragam cokelat, yang dulu dipilih karena warnanya menyatu dengan tanah, melambangkan kedekatan dengan rakyat, kini justru terasa asing. Filosofi “membumi” itu sudah dikhianati.
Di balik semua amarah dan kekecewaan, saya masih percaya pada keberadaan sosok-sosok polisi baik di luar sana. Ayah saya, teman-teman saya dan ribuan aparat lain yang mungkin tak pernah viral, karena mereka hanya bekerja dalam diam. Namun, sampai kapan mereka harus bersembunyi di balik label “oknum baik”? Sampai kapan kebaikan mereka tertutup oleh kebusukan pejabat dan aparat yang korup?
Jika institusi ini tidak segera berubah, polisi baik akan terus jadi minoritas yang tak terdengar. Dan pada akhirnya, rakyat akan berhenti percaya sepenuhnya. Karena bagi masyarakat, apa bedanya baik atau buruk, kalau yang terlihat hanyalah kekerasan, arogansi, dan ketidakadilan?
POLRI bisa saja terus bersembunyi di balik motto mulia dan filosofi seragam cokelat yang gagah. Tapi tanpa perubahan nyata, mereka hanya akan menjadi institusi yang ditakuti, bukan dihormati. Dan itu, mungkin, adalah tragedi yang lebih besar daripada sekadar kehilangan citra, yaitu kehilangan makna.
Lulusan sastra yang belum bisa move on dari kata-kata. Masih belajar menertawakan hidup, chapter demi chapter. Kadang jenaka, kadang muram, tapi tak pernah berpura-pura.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.