
Dalam kehidupan ini kalian pernah gak sih ketemu sama orang yang kalau ngomong itu selalu menonjolkan dirinya sendiri?
Ya, seperti tiap kali ngomong ngejelasin sifat-sifat baiknya, bicara soal pandangan hidup yang mulia atau sok-sokan nasihatin (walau gak diminta). Padahal dalam kenyataannya sifat orang ini tuh busuk, tapi yang ngomong kayak gitu biasanya emang gak nyadar-nyadar.
Kalau kalian pernah, atau sering bahkan, selamat kita senasib, he3x.
Orang seperti ini tuh kalau lagi ngobrol nih tiba-tiba aja mengeluarkan kata-kata ayang menonjolkan kualitas dirinya, seperti bilang kalau dia itu orangnya humoris, bisa melakukan apa saja, temenan gak pilih-pilih, introvert, atau banyak lagi contohnya. Seakan obrolan ini harus terus berpusat padanya, seakan obrolan ini adalah acara rapat dan semua lawan ngobrolnya harus sepakat dengannya. Nyebelin banget, sumpah! Arini tolong, ya! kwkw.
Sikap seperti itu menunjukan bahwa ia memiliki ego yang sangat tinggi. Ia belum memiliki kematangan emosi, belum memiliki keluasan sudut pandang, baginya orang-orang harus selalu menyadari eksistensinya, ia haus akan validasi.
Ingin eksistensi kita diketahui orang lain, ingin diri kita divalidasi atas hal-hal yang kita lakukan memang wajar saja, tapi beda lagi dengan merasa benar sendiri atau merasa penting sendiri dan menihilkan peran orang lain. Apalagi sampai mengakui hal-hal terpuji yang ada pada dirinya. Padahal aslinya gak ada. Saya yakin orang seperti ini nilai perilakunya di raport sekolah pasti jeblok.
Saya heran sebenarnya orang-orang dengan sikap seperti ini. Beberapa kali saya memperhatikan omongan orang-orang di sekitar saya, apakah omongannya itu sesuai dengan faktanya atau omdo dan asbun aja?
Beberapa sih ada yang bener, tapi kebanyakan sih ya melenceng. Yang paling sering tuh ngedenger orang yang minjem duit terus ngejanjiin tanggal sekian buat bayar, eh pas ditagih di tanggal yang ditentukan malah gak bisa bayar, atau gak mau bayar. Ujung-ujungnya utang gak dibayar, hubungan jadi rusak juga. Klasik!
Lain dengan yang omongannya tak bisa dipercaya, lain pula dengan orang yaang omongannya tinggi.
Ini lebih menjengkelkan lagi nih buat dihadapin. Orang tipikal seperti itu biasanya bakal ngomongin hal-hal yang tinggi banget nilainya dengan nada suara tegas yang hampir mustahil diinterupsi. Sehingga pendengarnya terpaksa idem ditto.
Sebagai contoh nih ada orang yang saya kenal bilang gini,
“Saya berteman dengan siapa pun. Tidak memilih kelas dan lapisan masyarakat apapun. Semuanya saya rangkul. Dari mulai pencopet, pengedar narkoba, pembegal dan profesi lain yang menyeramkan. Sekali lagi, Saya tak memilih-milih dalam berteman. Saya apa adanya saja.”
Dalam hati saya berkata, “Emang gue pikirin?”
Capek sekali rasanya mendengar omongan-omongan tinggi seperti itu. Saya jadi curiga, jangan-jangan ini tuh efek karena masa kecilnya tak pernah di dengar, tak dihargai omongannya makanya begitu tumbuh dewasa mereka jadi sosok ngoceh.
Orang-orang bermulut besar kayak gini tuh harusnya konsultasi ke psikolog, atau banyakin merenung deh.
“Renungkanlah bahwa banyak ucapanmu yang tinggi-tinggi itu tak sesuai dengan kenyataan dirimu yang payah. Kau bilang bisa ini, bisa itu tapi nyatanya hidupmu kacau sendiri. Omong kosong!” itulah sedikit nasihat dari saya.
Yang saya harapkan dari obrolan itu adalah hal yang mengasyikan atau berguna. Saya gak perlu mendengar seseorang pamer pencapaiannya, pamer sifat-sifat baiknya, ini kan ruang ngobrol biasa, bukan kampanye caleg!
Agaknya, saya menyesal telah menemui orang-orang seperti ini dan rela terbuang sia-sia. Dan lagi, ia juga menambahkan suatu afirmasi seperti ini,
“Mengobrol dengan seseorang tak hanya mengobrol dengan orang-orang berbobot saja tapi kita juga perlu mengobrol dengan orang-orang tak berbobot. Memang, waktu terbuang sia-sia tapi setidaknya ada suatu hal yang bisa kita ambil dari obrolannya.”
Maksudmu, apa yang mau diambil? Omong kosongnya atau apa? Namanya juga omong kosong sudah tentu tak bisa diambil. Thololll!
Saya sudah tak bisa berpikir panjang bertemu dengan orang-orang seperti ini.
Saya pernah mendengar suatu percakapan yang berbobot dari dr. Tirta di salah satu podcast yang saya lupa nama podcast-nya. Kurang lebih begini,
“Ketika kita bertemu dengan seseorang, bisa kita lihat dari basa-basi awalnya, apakah hanya menjurus pada basa-basi-busuk atau basa-basi membangun koneksi?
Tentunya, kita sudah menyadari dari awal apakah topik obrolan selanjutnya, Kita pun bisa menimbang yang baik dan buruk, yang bisa membuat kita berkembang atau jatuh terpuruk?
Saya mengamini betul sabda dari Kanjeng dr. Tirta itu. Karena lingkaran pertemanan itu sangat berpengaruh untuk tumbuh-kembang diri seorang, ia bakal bisa mendongkrak nasib seseorang dari jatuh sampai berdiri di kakinya sendiri.
Apa yang terjadi jika sebaliknya, maksudku bertumbuh di lingkungan yang itu-itu saja. Memang tidak toxic tapi ia menjadikan sebagai suatu hal yang dihindari. Betul?
Dan saya pernah bertemu seseorang perempuan yang kebetulan ia pernah dekat dengan saya dan tidak hanya itu saja, sepertinya teman-temanku mengalami hal yang sama dengan pengalamanku sekaligus mengonfirmasi apa yang baru saja utarakan.
“Jadi begini, saya telah banyak menolak orang dan saya lebih memilihmu sebagai pilihanku yang terakhir,” sepintas terdengar klise dan template, ya.
Bagaimana ia bisa menyimpulkan bahwa pilihannya itu paling mantap dan mutakhir. Ia bisa berkata seperti itu karena tentunya menjunjung ego yang ingin diakui, seperti sudah saya singgung di atas yang ”pick me” itu.
Pendapat ini sungguh amatir, tak berlandaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya membumbungkan egonya setinggi langit dan menginjak kuat-kuat lawan bicaranya dan hanya bisa mendongak saja.
Memberi makan egonya itu adalah makanan sehari-harinya, sepertinya ia tak bisa jika tak memberi makan egonya walau satu hari saja.
Di samping itu, ia membawa sebuah kepentingan yang besar untuk mengelabuhi kekasihnya agar termakan perkataannya yang manis itu. Orang ‘awam’ akan segera percaya bahwa ia adalah pilihan terakhirnya.
Padahal. tidak sepenuhnya, ya mungkin 50:50 lah ya atau bahkan 30:70 atau 30 dengan 70 kepentingannya itu dibandingkan niatnya yang sesuai dengan perkataan tersebut.
Mari kita analogikan dengan ilmu Matematika. Saya memilih matematika dasar saja, yaitu operasi bilangan bulat positif dan negatif.
Rendy berbicara masa depan sekitar 3 tahun ke depan. Tanpa memiliki kemampuan apapun, ia hanya berbekal mulut yang bau dan besar itu. Setelah sampai ke tahun ke 3. Ia berbicara masa lalu yang berarti 7 tahun lalu. Berapa banyak omong kosongnya Rendy dari tahun ke depan dan Kembali lagi ke tahun-tahun sebelumnya berbicara omong kosong itu?
Dari uraian di atas, jadi posisi Rendy dari semula adalah 3 tahun ke depan + 4 tahun ke belakang. Mari kita sederhanakan lagi, 3 + (-7) = berapa hasilnya?
Jadi di sini, positif dan negatif itu beda tanda. Kalau beda tanda dijumlahkan positif + negatif = negatif. Maka, negatif itu sama halnya 3 – 7 .
Oke, sekarang besaran mana angka 7 atau 3? Sudah pasti 7 kan. Nah, yang 7 itu menjumlahkan angka yang kecil dan ternyata angka besar itu ada negatifnya berarti hasilnya adalah – (7- 3) = – 4. So far so good?
Jadi, kita bisa tahu ternyata Rendy ini berapa banyak berbicara dengan omong kosongnya itu minus atau negatif. Ya benar sekali minus 4 tahun.
Emang ada ya, orang yang berbicara ke masa depan dan hasilnya minus? Ya ini, nih! Ini dia orangnya!
Ya, hasil akhir menunjukan bahwa ia memang bermulut besar dan sudah tentu tak berlaku buat saya dan mungkin orang lain untuk mendengarkannya.
Sejujurnya, saya menulis esai ini dengan perasaan yang dongkol sehingga bisa menulis lumayan panjang ini. Tapi bagaimana, jika orang ybs itu membaca esai ini? Ya bagus, berarti ada yang tak benar dalam perkataannya. Tapi, ia kan sering bilang bahwa ia masa bodo dengan orang-orang yang menganggapnya hina dan tak berguna. Sudah bodo takt ahu intropeksi diri dan ya silakan saja teruskan kebodohannya sampai ia tak merasa dibodohi orang lagi. Begitu.