
Sebagai mahasiswa rantau di Malang, saya terbiasa menjalani hari-hari dengan lingkar sosial yang cukup sempit. Bukan karena kesulitan mencari teman atau tidak ingin bersosialisasi, saya hanya merasa tak selalu punya energi untuk itu. Kemudian pada akhir semester kemarin, masa-masa skripsi mulai menyita waktu banyak mahasiswa. Banyak dari mereka memilih nugas di kafe, ramai-ramai bersama teman ataupun pasangan.
Saya? Lebih memilih di kos. Bukan karena antisosial, hanya karena merasa lebih nyaman. Tentu saja kalau ada teman yang mengajak nugas bareng di luar, saya akan dengan senang hati mengiyakan. Tapi jika tidak ada ajakan, mengetik skripsi di kamar sambil ditemani suara kipas angin dengan playlist Lo-Fi girl adalah bentuk ketenangan yang cukup buat saya.
Di luar ruang pribadi itu, dunia terasa berbeda. Ada semacam ekspektasi sosial yang mengharuskan kita untuk selalu “ramai-ramai”. Nongkrong bareng, ngopi bareng, nugas bareng, bahkan healing pun harus bareng. Seolah-olah kesendirian adalah pertanda bahwa kita kalah dalam pergaulan, atau lebih parah: gagal menjadi makhluk sosial.
Masyarakat kita, entah sejak kapan, seolah menetapkan kesendirian sebagai simbol kegagalan sosial. Sendirian berarti jomblo. Jomblo berarti gak laku, dan gak laku berarti kasihan. Padahal gak sesederhana itu, ‘kan?
Lucunya, banyak dari kita justru mulai terpengaruh oleh pandangan ini, termasuk saya. Beraktivitas sendiri di luar jadi serba canggung. Rasanya, seperti semua mata tertuju ke kita, padahal belum tentu ada yang benar-benar peduli. Jadi, apakah ini berarti kita tidak nyaman dengan kesendirian? Atau jangan-jangan, yang sebenarnya kita takuti adalah penilaian orang lain?
Sendirian ≠ Kesepian
Masih banyak orang yang mencampuradukkan dua hal yang sebenarnya sangat berbeda: kesepian dan kesendirian. Padahal keduanya memiliki makna yang jauh dari serupa. Kesendirian adalah kondisi ketika seseorang secara sadar memilih untuk mengurangi atau melepaskan diri dari interaksi sosial dengan orang lain, misalnya untuk beristirahat dari keramaian atau memberi waktu pada diri sendiri. Sedangkan kesepian justru muncul ketika seseorang merasa bahwa hubungan sosial yang ia miliki tidak memenuhi harapan ataupun kebutuhan emosionalnya. Jadi, seseorang bisa saja berada di tengah keramaian, tetapi tetap merasa kosong karena ekspektasi hubungan sosialnya tidak terpenuhi.
Sayangnya, kita jarang diberi ruang untuk memaknai bahwa menyendiri bisa menjadi pilihan yang sehat. Tidak semua orang merasa nyaman terus-menerus berada di tengah percakapan, suara, ataupun keharusan menjaga ekspresi. Bagi sebagian orang, keheningan justru menyembuhkan.
Sejak kecil, kita seperti diajari bahwa kebersamaan adalah standar normal, dan kesendirian merupakan tanda kekurangan. Di sekolah, siapa pun yang makan sendiri di kantin sering dianggap tidak punya teman. Saat remaja, punya circle menjadi simbol eksistensi sosial. Lalu saat dewasa, waktu istirahat pun idealnya dinikmati rame-rame, entah dengan nongkrong, atau healing berjamaah.
Bukan berarti hal-hal itu salah. Saya pun suka berkumpul, ngobrol, atau kumpul bareng teman-teman. Tapi bukan berarti menikmati waktu sendiri harus dianggap aneh atau menyedihkan juga, bukan? Sebab pada akhirnya, ketenangan tak selalu datang dari keramaian. Kadang justru muncul saat kita benar-benar bisa mendengar diri sendiri. Kita takut diawasi padahal anjir siapa juga yang mau mikirin kita?
Lucunya, rasa canggung saat sendirian di tempat umum sering kali muncul karena ilusi bahwa kita sedang diamati. Duduk sendirian di kafe, nonton film sendiri, atau makan di warung tanpa teman, seolah mengundang ribuan mata yang menilai,
“Kasihan amat sendirian,”
“Jomblo pasti,” atau
“Kok nggak ada temannya?”
Padahal nyatanya, kebanyakan orang terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri untuk benar-benar peduli ke kita. Tapi otak manusia punya caranya sendiri untuk memperbesar bayangan ketakutan ini.
Fenomena ini dalam psikologi dikenal sebagai spotlight effect, sebuah ilusi yang membuat kita merasa seolah menjadi pusat perhatian. Kita membayangkan semua orang sedang menilai yang kita kenakan, yang kita lakukan, atau bahkan yang duduk (atau tidak duduk) bersama kita. Padahal, kemungkinan besar mereka juga sedang sibuk memikirkan kehidupan mereka sendiri.
Terdengar sepele, tapi efek dari ilusi ini tidak main-main. Ia bisa mengubah cara kita mengambil keputusan sehari-hari. Kita jadi menunda makan di restoran favorit hanya karena “nggak ada teman”, batal nonton film yang sudah ditunggu karena takut “dikira jomblo” ataupun tidak jadi nugas sendiri di kafe karena merasa “aneh” pergi sendirian. Kita mulai mengatur hidup berdasarkan asumsi tentang apa yang mungkin dipikirkan orang lain.
Perasaan diawasi yang sebenarnya tidak nyata ini, kita seakan hidup di atas panggung imajiner, takut salah mengambil langkah, padahal kalau dipikir-pikir juga ya siapa yang mau mikirin kita? Menangys.
Jadi, kalau kamu memutuskan duduk di kafe sendirian, atau healing diam-diam tanpa rombongan ya kamu mungkin akan dicurigai sebagai makhluk aneh yang tidak punya teman, seperti saya. Tapi tenang za, menyendiri bukan berarti kesepian.
Coba bayangkan betapa absurdnya hidup ini kalau semua hal harus dilakukan beramai-ramai demi terlihat normal. Haruskah kita bawa rombongan tiap kali mau beli cilok di pinggir jalan? Haruskah kita sewa tim sorak hanya untuk menemani kita nugas di kafe? Rasanya melelahkan, bukan?
Pada akhirnya, kesendirian bukanlah hal yang memalukan. Lagipula, apa gunanya bersama orang lain kalau obrolannya hampa, iya bukan? Jadi, kalau kamu sedang sendiri hari ini, entah duduk di pojokan kafe, di pinggir taman, ataupun di dalam kamar, santuy za. Itu bukan tanda kekosongan. Kamu cuma sedang memilih ketenangan, istirahat dari hiruk pikuk dunia yang katanya ‘normal’.
Lulusan sastra yang belum bisa move on dari kata-kata. Masih belajar menertawakan hidup, chapter demi chapter. Kadang jenaka, kadang muram, tapi tak pernah berpura-pura.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.