
Saya punya seorang teman dekat. Dia baik, lucu, dan energik. Dia teman yang sangat menyenangkan untuk diajak ngobrol, diajak main, tapi semua itu berubah semenjak ia kecanduan judi online. Kerjaannya tiap hari cuma menatap layar ponsel sambil menekan-nekan ikon spin.
Ia amat percaya bahwa ia bakal “dikasih” rezeki nomplok dari situs bodong itu. Saya bilang “dikasih” karena ia seringkali menyebutnya sebagai pintu harapan yang tiba-tiba terbuka lebar dengan sendirinya tapi kenyataannya tidak akur dengan realitas yang ada di depannya. Beberapa kali, si pencandu judol sadar bahwa perbuatannya itu salah dan sadar 100%. Ia dengan haqqul yaqin sadar bahwa permainan itu sudah diatur oleh bandar. Tapi ya, ia tetap keukeuh melanjutkannya.
Sebagai teman yang baik, saya sudah mencoba berkali-kali menyadarkannya. Namun, setiap itu pula ia berkilah, ia menolak menghentikan jempolnya dari godaan petir Zeus yang terkutuk itu. Mungkin, saya terlalu berambisi untuk melepaskannya dari belitan candu judol yang semakin hari semakin membuatnya seperti orang yang mengonsumsi narkotika.
Saya punya alasan yang kuat mengatakan bahwa judol itu saudara kembar dari narkotika. Ceritanya begini, suatu ketika saya sedang duduk di sampingnya yang sedang sakau oleh judol. Sambil jemarinya terus spin di situs Zeus kegemarannya dia bilang pada saya, “berhenti dari judol itu susah banget. Sudah saya coba berulang kali tapi saya selalu gagal. Bisa berhentipun kalau sedang berada di dekat orang tua yang saya segani,” katanya dengan tatap mata masih setia ke situs Zeus.
Kayak pecandu narkotika kan? Yang udah tahu kelakuannya salah dan menyengsarakannya tapi tetep aja dilanjutin. Kebetulannya lagi teman saya ini seorang perantau. Tak ada lagi pengawasan dari orang tua.
Lalu dengan yakin sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri yang membusung ia berkata,“saya tak mau berdiri di kaki orang, saya harus berdiri di kaki saya sendiri.”
Nah kan sakau. Omongannya ngelantur. Lepas dari kecanduan judol aja belum bisa udak sok-sokan memproklamirkan nilai-nilai kehidupan.
Kalau dia sedang sedang berada di waktu luang nih, serangan sakau untuk main judi online makin ganas. Tangannya segera meraih ponsel dan nyembah Zeus lagi.
Apalagi kalau dompetnya lagi tebel langsung aja tuh dia meluncur ke Indomaret atau Alfamart buat top-up DANA. Lalu apa? Judi online lagi dong. Pokoknya tak ada hari tanpa judi online. Tiada hari tanpa dewa Zeus. Kampret emang.
Kalau maen judolnya kalah nih, uh, yang keluar dari moncongnya jelek semua. Dari nyebut alat kelamin sampe seisi anggota kebun binatang keluar semua.
Apakah dengan kalah itu ia jadi kapok main Judol? Ya enggaklah. Ia malah ganti situs Judol yang lain. Main lagi, kalah lagi, frustasi lagi, sadar sebentar, main lagi, kalah lagi. Begitu terus sampai iblis tobat dan sedekah, kata Hindia tea mah.
Saya sih udah gak ragu buat bilang kalau dia itu udah gak waras. Kontrol dirinya udah ilang. Sering banget minjem-minjem duit. Nominalnya sih kecil kek 20 ribu, tapi sering. Jadi muak banget sama kelakuannya.
Kalau dia udah bilang,”pinjem uang dong buat saldo!”
“Saldo tai,” saya jawab dalam hati. Tentu saja pinjamannya saya tolak.
Isi pikirannya sungguh kacau. Berharap bisa dapat duit dari leha-leha hasil Judol tuh gak mungkinlah. Tiap orang kan emang harus kerja, berlelah-lelah, dapat uang, dipakai dengan bijak, semua rangkaian proses itu bakal bermuara pada kehidupan yang tenang. Ingin saya katakan rangkaian kata-kata itu ke telinganya pake sound horeg biar dia sadar.
Tapi kayaknya gak bakal sadar juga sih. Saya pernah nyindir dia pas main Judol dengan lagu Judi dari Rhoma Irama. Liriknya ngena banget tuh, pas banget sama keadaan dia.
Judi (judi)
Menjanjikan kemenangan
Judi (judi)
Menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau menang
Itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong)
Kalaupun kau kaya
Itu awal dari kemiskinan
Eh, bukannya ngerasa kesindir ia malah ikutan nyanyi. Kampret emang.
Kutipan favoritnya adalah the best leisure time is playing a Judol ever. Fuck aing mah lah! Ia pikir bahwa waktu luang adalah waktu yang tepat untuk mencari pundi-pundi amal cuan yang berlimpah. Ia tak mau sedikitpun waktunya mubdzir dengan hal yang sia-sia. Baginya, bermain judol bukan kegiatan sia-sia melainkan kegiatan mengasah otak, agar tidak kopong dan goblok. Yah, terserah saja lha wong mereka kalau menang saja terlihat tolol. Dalam artian, ia akan menambah saldonya yang lebih besar daripada sebelumnya. Apalagi, disaat ia rungkad nambah kelihatan gobloknya mencari hutang kesana-kemari demi menjaga win streak-nya. Ia masih berharap pada harapan yang semu itu.
Ia juga pernah menjelaskan kalau bermain Judol itu baik bagi kesehatan karena memacu adrenalin. Ia bilang gitu sambil mengutip dari situs Alodokter. Padahal penjelasan versi dia dengan tulisan di situsnya beda banget. Di situs Alodokter adrenalin itu berguna bagi kesehatan, lah dia ngejadiin adrenalin sebagai bumbu penyedap main Judol.
Adrenalin pas maen judol emang terpacu, ya tapi buat apa judolnya? Ka banyak aktivitas lain yang memacu adrenalin. Bisa lari, main bola, ngeleg anjing, atau banyak aktivitas lainnya.
Ada satu quotes yang saya masih ingat. Saya dapat dari bapak teman saya yang memiliki rental Playstation di Indramayu. Kurang lebih begini,”Kalau kalah main (baca:PS) jangan marah, kalua menang boleh senang”. Sekilas, terdengar cringe dan menggelitik tapi ini yang membuat relevan dengan pembahasan kita kali ini. Ya, jika diimani betul segala bentuk permainan memang harus begitu, kalah sudah biasa dan menang hanyalah bonus. Yang penting kita sudah berusaha. Tapi, saya lupa siapa yang pernah berkata seperti itu dan menempel lekat di telingaku?
Untungnya, teman saya ini bisa berhenti dari judol. Setelah menghabiskan waktu cukup lama. Kunci keberhasilannya lepas dari judol adalah sistem produktifitas yang terpola, terstruktur dan memiliki niatan yang kuat. Ia mampu menembus dinding yang paling keras dalam dirinya hingga rasa sakau itu hilang tak tersisa, Mungkin, bagi penderita Judol ini akan berhasil lepas dari belitan rantai judol itu dengan metode yang sama dengan teman saya ini.
Saya berdo’a semoga semua orang yang berniat sungguh-sungguh berhenti judol dapat dimudahkan jalannya. Seperti teman saya ini. Sekarang tampilannya selalu fresh, kerjanya rajin dan hidupnya lebih tertata.
Syamsul Bahri seorang guru bahasa inggris di Yogyakarta. Selain kesibukannya menjadi guru, ia juga kadang-kadang menulis, esai, cerpen, puisi resensi dan hal lainnya yang sia-sia. Bisa disapa lewat Instagram: @dandelion_1922
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.