Logika Terbalik di Selatan Karawang: Melindungi Alam Masuk Bui, yang Korupsi Diampuni

Sungguh aneh, di tengah menguatnya penolakan masyarakat terhadap pengerusakan lingkungan, negara malah mempertontonkan dua wajah hukum yang jauh berbeda. Yang satu mengampuni elit politik yang diduga terlibat kasus korupsi, eh yang satunya malah mengkriminalisasi warga yang menolak aktivitas tambang sebab merusak alam.

Kasus yang akan saya bahas ini tengah berlangsung di Karawang Selatan. Seorang warga dan pejuang lingkungan, Ujang Nur Ali, dipanggil oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri sebagai saksi dalam dugaan tindak pidana penghasutan sebagaimana Pasal 170 KUHP. Apalagi pemanggilan itu bertepatan dengan aksi warga yang menolak rencana tambang dan proyek industri di kawasan pertanian dan hutan lindung wilayah Tamansari dan sekitarnya. Dalam konteks ini, tuduhan hukum tidak bisa dilepaskan dari upaya kolektif masyarakat mempertahankan ruang hidup mereka dari ekspansi ekstraktif.

Tambang sebagai Ancaman Ekologis dan Sosial

Rencana masuknya industri pertambangan ke wilayah selatan Karawang yang merupakan kawasan subur dengan ekosistem pertanian basah dan sumber air yang penting bagi ribuan keluarga petani bukan hanya ancaman ekologis, tetapi juga berdampak buruk bagi sosial seperti mematikan sumber penghidupan, mencemari lingkungan, dan memicu gelombang konflik agraria.

Penolakan warga terhadap tambang adalah bentuk perlawanan atas nama kelangsungan hidup, tapi bukan berarti warga anti terhadap investasi, ya. Alih-alih hadir untuk melindungi, negara justru (seperti biasa) menuding warga sebagai pelanggar hukum. Lho, gimana ceritanya? Ini bukan sekadar kekeliruan prosedural, tetapi indikasi dari kegagalan negara menempatkan keberpihakan ekologis dalam tata kelola pembangunan.

Kriminalisasi Penolak Tambang sebagai Instrumen Kekuasaan Baru

Pemanggilan terhadap Ujang Nur Ali yang tertuang dalam Surat No. B/830/VII/RES.1.10/2025/Dittipidum, adalah bagian dari pola lama dalam wajah baru, penolakan terhadap tambang dibungkam melalui jalur hukum. Pasal 170 KUHP yang seharusnya digunakan untuk kekerasan fisik, justru diarahkan pada ekspresi politik warga yang damai. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak lagi berdiri sebagai penengah konflik kepentingan tetapi telah menjadi alat represi untuk menjamin kelancaran investasi. Dalam konteks seperti ini, hukum sudah hilang moralitasnya.

Sementara Koruptor Diampuni

Yang bikin lebih miris adalah ketika warga seperti Ujang dipanggil karena mempertahankan tanah dan air semata untuk penghidupannya, elite politik seperti Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong justru disebut-sebut akan mendapatkan amnesti dan abolisi meski diduga terlibat dalam skandal korupsi yang merugikan keuangan negara dan publik.

Inilah cerminan hukum yang bukan saja tumpul ke atas, tetapi juga aktif melayani kepentingan kelas penguasa. Pengampunan kepada elite korup dan kriminalisasi terhadap penolak tambang adalah kombinasi paling brutal dari negara yang kehilangan kompas etik dan ekologis.

Saya menyatakan dengan tegas: kriminalisasi terhadap Ujang Nur Ali dan warga Karawang Selatan adalah bukti bahwa negara lebih memilih mengabdi pada modal tambang daripada kehidupan rakyat. Ketika koruptor disiapkan jalur pengampunan, dan warga penolak tambang diseret sebagai tersangka, maka demokrasi telah berubah menjadi mekanisme legal bagi ketidakadilan. Negara hari ini sedang gagal memihak kehidupan.

Penolakan terhadap tambang di Karawang Selatan adalah bagian dari perjuangan panjang untuk merebut kembali makna demokrasi yang sejati, demokrasi yang tidak hanya memberi ruang bagi elite dalam pemilu, tetapi juga menjamin hak rakyat untuk mempertahankan tanah dan airnya.
Kita tidak sedang berhadapan dengan persoalan teknis hukum semata, melainkan dengan struktur kekuasaan yang menjadikan hukum sebagai alat dominasi. Maka, dalam situasi seperti ini, diam bukanlah netralitas, tetapi keberpihakan pada perusak.

Hukum untuk Siapa?

Negara hari ini sedang diuji. Apakah ia akan berpihak pada rakyat yang memperjuangkan ruang hidup, atau terus melindungi segelintir elite yang memperkaya diri dari perusakan lingkungan? Jika Ujang Nur Ali bisa dipidanakan karena menolak tambang, dan para perampas uang rakyat bisa dibebaskan melalui amnesti, maka hukum bukan lagi keadilan ia adalah kekuasaan yang berbicara dengan bahasa resmi. Dan dalam situasi ketidakadilan seperti ini, satu-satunya sikap etis adalah melawan.

Sebagai bagian dari gerakan rakyat yang berdiri di sisi kehidupan, saya, Tri Prasetio Putra Mumpuni, menyatakan dengan tegas bahwa kami tidak akan tinggal diam menghadapi intimidasi hukum terhadap warga yang menolak tambang di Karawang Selatan.

Saya bersama Komite Rakyat Sipil Karawang siap melaporkan balik PT JSI dan PT MPB atas dugaan kerusakan lingkungan, perusakan infrastruktur jalan, serta berbagai pelanggaran
hukum yang dilakukan dalam proses eksploitasi ruang hidup warga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!