
Tama terbujur lemas di antara rumput dan bunga-bunga. Seandainya hujan tidak turun sore itu, air mata yang turut membasahi pipinya akan tampak jelas. Dipeluknya tubuh Nabila yang terbaring kaku dengan penuh sesal. Sumpah serapah menyebar ke segala penjuru.
“Seandainya aku datang lebih cepat …” tangisnya makin kencang.
Dua minggu sebelumnya, Tama sempat bercerita tentang sesuatu yang menakjubkan. Tepatnya saat ujian praktik melukis sebelum semester ganjil resmi berakhir.
“Tadi malam aku melihat bintang-bintang berkejaran di atap kamarku. Cepat sekali mereka berpindah ke sudut-sudut yang lain.”
“Kau ikut mengejar mereka?”
“Tidak. Lelaki di samping ranjangku menodongkan sebuah pedang. Mungkin penjaga bintang-bintang itu.”
Raha mulai menggoreskan cat di atas kanvas putih. Seperti biasa, ia ingin menggambarkan cerita yang disampaikan sahabatnya. Sejak kecil ia memang pandai melukis. Sangat pandai. Seperti bakat alami yang sudah ia miliki di kehidupan sebelumnya, atau sebelumnya lagi. Kadang ia iri terhadap Tama yang punya segudang pengalaman. Tak seperti Tama, membayangkan dan bercerita adalah hal yang sulit baginya.
Sebenarnya Raha tak begitu suka melukis, bahkan mulai membencinya. Ia tak merasakan apa pun ketika membubuhkan cat ke kanvas putih itu. Tidak merasa senang ataupun sedih. Begitu datar. Dan kosong. Jika sama-sama mengotori selembar kertas dengan tinta atau warna, ia lebih senang menulis.
Ayahnya adalah seorang seniman dan pelukis terkenal, sementara ibunya adalah dokter spesialis di sebuah rumah sakit. Keduanya jarang ada di rumah. Ayahnya lebih sering bepergian ke luar kota selama beberapa hari guna menghadiri acara kesenian. Raha pernah ikut beberapa kali, dan setiap orang yang ia jumpai selalu mengatakan hal yang sama, “Pewaris bakat ayahnya.”
Kira-kira dua tahun lalu, ibunya dipindahkan untuk bekerja di rumah sakit yang lebih besar. Raha tahu bahwa ibunya akan sangat sibuk, mengingat banyaknya jumlah pasien di tempat kerja yang baru.
“Tidak masalah,” ucapnya dalam hati. Lagipula ia terbiasa sendirian di rumah besar itu, malah sering berharap agar orang tuanya tak kunjung pulang (terutama ayahnya). Ia bisa leluasa memutar lagu-lagu Oasis dan The Beatles sepanjang hari sembari tenggelam dalam bacaan sastra.
Lembar demi lembar terlewati. Alih-alih bosan, Raha malah semakin penasaran. Tangannya mencatat beberapa kutipan dari sebuah novel. Ia ingin mahir menulis. Raha percaya, penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Maka dari itu, ia tak pernah bosan membaca dan terus membaca. Suatu saat, ia harus menggambarkan cerita sahabatnya itu dalam bentuk tulisan dan cerita utuh, bukan sebatas sketsa, gambar, atau lukisan.
Dari tulisan dan buku, ia banyak belajar, terutama soal hidup. Pernah ia menangis sesenggukan saat membaca sebuah novel. Dalam novel itu, karakter utamanya adalah seorang bayi tunadaksa. Kepalanya sangat besar, matanya tak mampu melihat, tak bisa bicara, mendengar, dan berjalan. Jauh lebih buruk dari kehidupan yang ia miliki.
Demikian pula musik. Keduanya bukan sekadar hiburan. Lebih dari itu, mereka menyusun setiap momen yang bisa ditawarkan kehidupan dengan cara masing-masing. Sajak dan nada tak ada bedanya. Lagu yang indah awalnya adalah baris tulisan yang indah pula. Sejak awal, keduanya saling terikat.
Seandainya bisa, ia ingin mengajak Tama berkunjung ke rumah. Namun sahabatnya itu sulit sekali ditemui di luar kampus.
Suatu ketika, ia pernah menawarkan pergi ke sebuah kafe, dan Tama mengiyakan. Ia sedikit lupa, sepertinya itu pertama dan terakhir kali keduanya berbincang di luar. Mereka segera berangkat setelah mata kuliah terakhir selesai. Sesampainya di sana, ia meminta Tama untuk duduk terlebih dahulu, sedang ia memesan minuman. Meskipun kecil, ini adalah tempat favoritnya. Tidak terlalu ramai dan terasa tenang.
“Kalau saja aku tidak menghindar dengan cepat, perutku pasti berlubang.”
Raha tersedak. Ini bukan pertama kalinya ia terkejut dengan cerita Tama.
“Seorang pria menembakkan belasan peluru ke arah kami. Sebenarnya aku ingin membalas, namun Nabila melarangku,” tambahnya.
Cerita terus berlanjut. Tama sungguh piawai mengisahkan pelarian bersama kekasihnya itu. Dari satu peristiwa, dua peristiwa, tiga, empat, dan seterusnya, hingga berakhir dalam tawa bersama. Usai beralih dari tawa barusan, masing-masing mengeluarkan buku sketsa gambar dan saling bertukar.
“Ini yang selalu membuatku terkesima. Maksudku, sebenarnya apa yang ia lihat dan ia alami? Bagaimana ia memandang dunia melalui kedua matanya? Aku tak mengerti,” pikirnya saat melihat hasil gambar Tama. Bukan hanya unik, gambar-gambar itu tampak demikian hidup. Beberapa adalah gambar yang pernah Tama ceritakan. Ia kemudian membandingkan cerita yang sama dari gambar yang berbeda. Satu miliknya, satu milik Tama.
Ia terhempas dari lamunan. Pikirannya tertuju pada penggalan ingatan tentang gambar-gambar itu. Mendadak ada yang menggebu-gebu dalam benaknya. Salah satu yang paling ia ingat adalah gambar seorang perempuan. Tentu bukan perempuan biasa. Ia hadir dalam bentuk yang aneh. Sayap kanannya lebih besar, menjulang tinggi diikuti lekukan menyerupai lambang hati yang tidak sempurna. Sayap kirinya? Sangat kecil, seperti digambar seperlunya. Alih-alih wajah, perempuan itu bahkan tidak memiliki rambut. Raha hanya percaya bahwa yang ia lihat adalah perempuan, sebab Tama berkata demikian.
Perutnya terasa lapar. Sejak pagi ia memang belum makan apa pun. Ini sering terjadi karena Raha sedikit malas berjalan menuju warung di luar kompleks perumahan. Ia lebih suka sarapan di kantin kampus dan membeli nasi atau makanan lain saat perjalanan pulang.
Tepat sebelum ia membuka pintu depan di lantai satu, telepon rumah berbunyi.
“Bisa segera datang ke rumah sakit? Ambil uang dalam laci ruang tamu dan jangan lupa kunci pintu.”
Telepon terputus sebelum ia sempat membalas perkataan ibunya. Dua puluh menit kemudian, ia siap berangkat. Sejak libur semester dimulai dua minggu yang lalu, ini kali pertama ia meninggalkan rumah selain untuk urusan makan. Liburan sebelumnya pun sama, tak ada yang istimewa.
Hujan turun saat taksi yang ia tumpangi baru berjalan beberapa meter. Untung ia tak lupa membawa payung. Sesampainya di sana, Raha mesti menunggu beberapa saat karena ibunya sedang ada urusan. Di luar, hujan masih sangat lebat. Ia memutuskan duduk di sebuah bangku dekat ruang tunggu. Seisi ruangan itu dipenuhi bau khas obat-obatan. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah muram, mungkin pusing memikirkan harga obat atau keadaan kerabat dan orang terdekat.
Ruangan di lantai itu bukan berbatas dinding, melainkan kaca-kaca besar yang berfungsi sebagai sekat. Dari tempatnya duduk dapat terlihat padang rumput yang membentang sunyi di seberang jalan. Sepertinya angin berhembus kencang menyisir ujung ilalang dan dedaunan. Untuk sebentar saja, rasanya ia ingin duduk di sana sambil menyaksikan mentari terbenam di ufuk barat.
Bayangan berselimut damai dan ketenangan seketika sirna. Seorang pria keluar lalu berlari menerjang hujan. Raut wajahnya tak mampu ia tangkap. Yang jelas, ia mengenakan pakaian serba hitam, membawa sebuah boneka, dan berkepala gundul. Langkahnya cepat. Dalam hitungan detik, ia sudah sampai ke seberang, diikuti dua perempuan. Kedua perempuan itu tampak kewalahan. Mereka bahu-membahu menahan seorang pria yang terus berontak dan berteriak.
Cukup lama memperhatikan, ia makin gelisah. Salah satu dari perempuan itu adalah sosok yang ia kenal dan ia tunggu. Perasaan yang sama berkata demikian tentang pria itu. Raha sontak keluar dan memanggil ibunya, tapi tak ada balasan. Ia terus kebingungan. Mengapa ibunya mengejar seorang pria yang histeris di tengah hujan?
Raha bergegas mendekat, kalau-kalau ibunya butuh bantuan untuk menenangkan pria tersebut. Ada tafsir tersendiri dalam pikirannya saat itu, sesuatu yang cukup mengganggu. Hatinya dipenuhi rasa cemas ketika orang-orang di hadapannya semakin dekat. Benar saja, pria itu berteriak sangat kencang, menyebutkan sebuah nama yang menghentikan paksa laju langkahnya.
Dadanya terasa sesak. Udara seperti enggan mengaliri setiap rongga dalam sekat paru-paru yang terpecah. Guntur meraung dari pekat langit yang masih memuntahkan hujan. Kini tak ada lagi kisah mengagumkan untuk ia lukis. Lupakan tentang kuas dan kanvas. Biarkan mereka pergi sejauh mungkin. Seorang sahabat telah pergi, menjelma kegilaan dalam dekap haru sebuah boneka. Sementara ketiga orang itu saling memaki, Raha terus berdiri dengan jiwa yang nyaris mati.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.