Ngomong-ngmong dalam buku catatan saya dari hari FGD Maskulinitas yang Sehat itu, saya mencatat: Menggeser dominasi ke partisipasi, atau distribusi kendali. Terbaca sangat membosankan bukan?
Menikah atau Tidak, Hidup Sungguh Gitu-Gitu Saja

Bulan lalu Swara Saudari ulang tahun yang ke-7 dan ngadain Focus Group Discussion tentang Maskulinitas yang Sehat. Banyak hal yang menarik sebenarnya yang bisa dicatat dan bagikan, terutama pada bagian berikut: bahwa laki-laki sering lupa bahwa dirinya sering zalim pada dirinya sendiri, dan akhirnya berimplikasi pada perempuan di sekitarnya.
Namun saya tak akan mengelaborasi catatan di atas, sebagai gantinya mau cerita sedikit saja soal pandangan saya pada pernikahan–sebuah topik yang paling bikin siapa pun suka pusing setengah mati dan agaknya juga beririsan sedikit dengan topik FGD itu.
Dalam hidup saya, ide bahwa kelak akan menikah sebenarnya sudah ada sejak usia 25 tahunan. Namun seperti keyakinan saya pada keberadaan kuntilanak, ia mengalami pasang surut. Entah karena bacaan-bacaan saya yang makin condong pada filsafat nihilistik, atau sesederhana bosan sekali melihat orang menikah. Prosesnya yang boros dan akhlak orang-orangnya, yang auto memuakkan setelah menikah.
Apa boleh buat?
Orang-orang yang baru menikah itu super membosankan, kalau tak terlalu bahagia (bahkan cenderung agak ngada-ngada), ceritanya adalah deretan derita. Keduanya sama-sama jenis orang dengan obrolan tidak menarik. Hasilnya di usia 20-an ide menikah di kepala saya semakin surut belaka.
Sampai pada titik saya sudah tak masalah diguyoni “Kapan menikah?” tiap lebaran tiba. Otak saya malah makin piawai merespon dengan jawaban-jawaban yang cemerlang. Kadang saya respons dengan: setelah yang nanya cerai, atau Cikampek memerdekakan diri. Tergantung siapa yang nanya.
Namun, begitulah manusia, seiring berjalannya waktu ide itu mulai pasang lagi, terutama saat menginjak usia 30-an, saat Pandemi menerjang di awal 2020.
Pikiran saya saat itu sesederhana, kalau bencana serupa atau yang lebih parah tiba, sebutlah wabah zombie, saya harap punya kawan yang bisa diajak membangun bunker dan mencari hiburan menembaki zombie setiap sore hari. Dan bajingannya, saya putus di masa itu karena sebab-sebab yang agak memalukan.
Akhirnya, di satu atau dua tahun masa pandemi hubungan romantis dan ekonomi saya sama koyaknya. Kemudian saya memutuskan untuk belajar menata ulang tabungan. Dengan kata lain kerja, kerja, kerja. Seperti Mulyono.
Singkatnya pada pertengahan 2024, saya mengusulkan ide menikah pada Sabrina. Semuanya dalam nuansa hati sedang senang, meski tabungan hanya 5 juta rupiah.
Saya berusaha menganalisis lagi dari mana munculnya keberanian itu. Tentu saja bukan karena 5 juta belaka. Agaknya ia sesederhana naiknya bakat bertahan hidup, dan surutnya minat meromantisir relasi asmara sebagaimana yang dicanangkan film-film dan novel-novel romantis.
Karena saat berpikir ulang dengan relasi-relasi romantis yang dulu, saya tidak menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Pikiran saya hanya berkutat pada apakah ia orang yang setia, mungkinkah dada saya tak lagi berdebar, apakah dia cinta pada pandangan pertama, dan semisalnya. Atau sedikit agak berbobot:
“Mungkinkah kami membangun relasi yang setara?” atau,
“Apakah sebagai laki-laki saya sudah mengikis minat mendominasi?” dan seterusnya.
Pada akhirnya semua pertanyaannya itu, mengkristal jadi pertanyaan sederhana: Dengan siapa saya bisa mulai melakukannya? Pada siapa kita akan bilang “maafin” meski hati kita dongkol? Dengan siapa kita bertukar kata “terima kasih” untuk hal-hal sepele?
Sebab apa pun yang kita pikirkan soal relasi yang setara, atau cinta yang sejati (huek!), akan gugur belaka jika kita tidak yakin dengan siapa akan memulainya. Toh menikah atau tidak, hidup sungguh begitu-begitu saja, seperti pada setiap krisis terjadi dalam hidup kita. Pajak yang dibayar dengan ketaatan buta itu, umur yang kita tabung di tempat kerja, semuanya tak punya jawaban saat hidup sedang memiting leher kita sendiri.
Ngomong-ngmong dalam buku catatan saya dari hari FGD Maskulinitas yang Sehat itu, saya mencatat: Menggeser dominasi ke partisipasi, atau distribusi kendali. Terbaca sangat membosankan bukan?
Leave a Comment