
Dulu, Karawang adalah lanskap sawah padi yang hijau nan segar. Orang-orang sempat menjuluki kota ini sebagai “lumbung padi”—tempat negara menggantungkan persediaan beras untuk memenuhi kebutuhan mulut-mulut yang lapar di kota maupun desa.
Sekarang, justru lebih terkenal sebagai kota industri atau kota yang UMRnya tinggi. Cerobong-cerobong pabrik berdiri gagah sambil memuntahkan polusi, dan lalu lalang kendaraan pekerja sibuk setiap pagi dan sore hari, kalau malam paling geng motor yang tawuran dan transformer pengangkut hasil produksi.
Aktivitas industri yang padat ternyata berpengaruh pada keadaan Sungai Citarum. Sungai terpanjang di provinsi Jawa Barat yang membentang sekitar 297 kilometer ini makin tercemar oleh limbah industri.
Di hari biasa, warna airnya cokelat muda seperti coffee latte warkop fancy—tapi rasanya gak serta-merta pahit manis khas kisah cinta Gen Z. Lalu, di “hari luar biasa”, seperti tanggal 21 Juni 2025 yang lalu, warnanya berubah drastis menjadi biru kehijauan atau hijau toska.
Menurut laporan media Kumparan, masyarakat Puseurjaya, Telukjambe yang terdampak menyaksikan akibat mengerikan: ikan-ikan menjadi teler atau mabuk. Ini menandakan bahwa air sungai yang tercemar bukan hanya berubah warna, tetapi juga berubah sifat—yakni menjadi berbahaya.
Muncul dugaan bahwa pencemaran ini berasal dari aktivitas salah satu perusahaan kertas di Karawang. Bahkan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Karawang pun melakukan sidak terkait dugaan pencemaran limbah pabrik kertas, seperti diungkap Kompas TV.
Limbah industri di Sungai Citarum membawa petaka. Hasil buangan industri kertas itu mengandung zat-zat berbahaya seperti natrium hidroksida, natrium karbonat, natrium sulfida, bisulfit, klorin dioksida, kalsium oksida, dan asam klorida.
Ambil contoh klorin dioksida. Zat ini berpotensi memicu kanker pada manusia yang mengonsumsinya.
Lagi dan lagi, warga lokal lah yang menanggung getahnya. Udah mah uangnya kepake buat biaya sehari-hari, eh, ini ditambah lagi mesti berobat—yang dipicu dugaannya oleh tindakan perusahaan yang bejat.
Penyebab utama air Sungai Citarum menjadi keruh adalah aktivitas industri. Dugaan pembuangan limbah oleh perusahaan kertas memperparah kondisinya. Mereka dianggap tidak terlebih dahulu mengolah limbah pewarna kertasnya.
Merujuk pada laporan Mutu Certification, terdapat berbagai cara supaya limbah cair bisa aman dibuang, antara lain: penyaringan, flotasi, pengendapan, dan menghilangkan material organik dengan organisme. Semua metode ini berguna untuk memisahkan zat-zat berbahaya dari air yang akan dibuang.
Kita gak bisa bayangin tuh ngerinya limbah yang udah mah dibuang terus gak diolah terlebih dahulu. Ikan-ikan di situ teler, dan yang lebih parah, warga memanfaatkannya untuk konsumsi rumah tangga: makan sehari-hari, air mandi setelah seharian bekerja, bahkan buat menyeduh kopi sebagai meliput lara. Hasilnya adalah penyakit bisa menjadi tamu yang mustahil ditolak.
Tahu sendiri kan gimana tercemarnya sungainya—airnya kusam pekat dan penuh benda asing: sampah industri dari ukuran mikroskopis sampai yang bisa dilihat mata.
Kembali ke soal pembuangan limbah, ini memang sulit dimaafkan. Pertama, berkaitan dengan daya dukung lingkungan hidup. Sungai yang semestinya menopang flora dan fauna, kini malah memancarkan bau busuk dan membahayakan. Kedua, berkaitan langsung dengan kesehatan masyarakat. Air yang terkontaminasi serta ikan yang mengonsumsi racun bisa membahayakan manusia yang mengonsumsinya.
Pasal 60 UUPLH berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.”
Bahkan jika dumping itu perlu dan tak terhindarkan, tetap harus melalui proses sebagaimana ditentukan pasal 61 ayat (1), (2), dan (3), yaitu:
Tidak sampai situ, ada juga sanksi pidana dalam pasal 116:
(1) Jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama badan usaha, pidana dijatuhkan kepada:
1. Badan usaha; dan/atau
2. Orang yang memberi perintah atau bertindak sebagai pemimpin kegiatan tersebut.
(2) Jika dilakukan oleh orang dalam hubungan kerja badan usaha, sanksi dijatuhkan kepada pemberi perintah atau pemimpin kegiatan itu.
Pasal 118 menegaskan bahwa sanksi tersebut diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili perusahaan di dalam maupun luar pengadilan.
Di sini jelas, teman-teman. Pimpinan perusahaan yang membuat itu limbah cair dibuang punya pertanggungjawaban pidana lingkungan yang berat. Hukumannya bahkan bisa diperberat sepertiga.
Pasal 98 ayat (1) UU PPLH menyebut: pelaku dapat dihukum maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar. Karena diperberat sepertiga, dendanya bisa mencapai Rp13,33 miliar dan 13,33 tahun penjara. Iya, ini angka yang fantastis.
Perusahaan kertas, apabila memang terbukti dugaannya, juga gak serta-merta bisa lari dari tanggung jawab pidana sepenuhnya. Menurut pasal 119, mereka bisa dikenai pidana tambahan berupa:
a. Perampasan keuntungan dari tindak pidana;
b. Penutupan usaha sebagian atau seluruhnya;
c. Perbaikan akibat tindak pidana;
d. Kewajiban mengerjakan hal yang dilalaikan;
e. Penempatan perusahaan dalam pengampuan selama 3 tahun.
Persoalannya, ini susah dijalankan. Tahu sendiri kualitas penegakan hukum kita gimana, meuren. Aduan bisa berhenti di penyidikan karena SP3—dengan alasan “gak cukup bukti”—padahal ada bisik-bisik intervensi. Setelah masuk pengadilan pun belum tentu aman. Putusan hakim bisa bias ke kelompok yang berkuasa secara finansial, alih-alih imparsial.
Berdasarkan keterangan Kabid PPL DLHK Karawang, pihak DLHK sudah menyambangi PT. Pindodeli 1 yang menjadi pelaku birunya air sungai tonton di sini.
Tapi bagaimana pelaksanaannya? Entahlah, hanya The Simpsons yang tahu.
Melihat fakta ini, muncul pertanyaan besar: apakah hukuman bisa terealisasi? Hukuman pidana dan denda fantastis memang jelas tercantum dalam undang-undang, tapi realitas di lapangan sering kali berkata lain.
Penegak hukum dihadapkan pada tantangan serius: birokrasi berbelit dan intervensi kepentingan. Kita semua tahu, proses hukum bisa sangat panjang dan melelahkan, sementara kerusakan lingkungan dan kerugian kesehatan masyarakat terus berjalan.
Akhirnya, jera atau gaknya pimpinan perusahaan dan perusahaan yang diduga telah melakukan tindak pidana tergantung pada kinerja penegak hukum. Bukan cuma penegakan hukum di pengadilan, tapi juga pengawasan di hulu yang ketat, sidak yang rutin dan gak pandang bulu, serta transparansi di setiap proses hukum.
Tanpa itu semua, pasal-pasal hukum yang muluk-muluk itu cuma akan jadi bungkus gorengan. Rakyat kecil akan terus jadi korban dari ambisi industri yang gila.
Kita boleh saja tinggal di kota industri, di tengah cerobong dan bayang-bayang UMR tinggi meskipun ya gak kebagian juga gaji UMR. Tapi bukan berarti kita harus menormalisasi air sungai yang berwarna seperti rambut Billie Eilish awal-awal terkenal. Lingkungan gak harus jadi tumbal.
Warga tuh gak pernah minta banyak. Cuma minta hak hidup yang layak, hak mandi tanpa was-was, hak nyeduh kopi biar tetap indie, dan hak mencintai kampung halaman tanpa takut hancur karena limbah.
Apalah arti pembangunan kalau yang tumbuh cuma tumor di paru-paru rakyat? Lagian Citarum Harum dulu anggarannya ratusan milyar, deh. Iya gak Pak RK? Situ kan penggagas.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. [Link UU]
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.