
2 minggu ke belakang saya mulai berlangganan Netflix lagi dengan tujuan menonton yang tidak ada di LK21. FYI, dulu saya berhenti berlangganan karena Netflix menghapus 19 film bertemakan Palestina. Ya, kalau dengan berlangganan Netflix ini bisa membikin aktivisme saya gak sahih, ya sudah! Menulis ulasan dan tetap koar-koar adalah jalanku membersihkannya:(
Kategori dokumenter tentu masih jadi favorit saya. American Manhunt: Osama bin Laden adalah film pertama yang saya tonton setelah kembali berlangganan Netflix. Dokumenter itu dibagi menjadi 3 episode, tiap episodenya berdurasi 1 sampai 1,5 jam.
American Manhunt menarasikan perburuan CIA dan pemerintah negara paling NPD sedunia, USA, mencari Osama bin Laden pasca peristiwa 9/11. Perburuan jelas jadi tajuk utamanya, maka ketika film itu menayangkan 99,9% perburuan tanpa proses memastikan Osama sebagai pelaku teror, saya merasa sah-sah saja. Namun setelah 1 episode, saya merasa,
“Ini pemerintah kok cuma nyimpulin dari 1 penumpang aja, ya?”
Ya maklum, dong. Ngapain saya harus baca berita lagi kalau dokumenter itu gak bisa merepresentasikan kejadiannya.
Setelah menonton itu, saya cuma punya 1 kesimpulan: ini film cuma mau nunjukkin betapa keren Amerika berhasil menangkap Osama bin Laden. Saya gak dukung terorisme, tentu za.
Kemudian, muncullah poster si Sayang pakai kopeah di Netflix. Masyaalloh, kata gue teh. Tanpa basa-basi, gas!
Sebagai penggemar Nicholas Saputra, saya merasa gagal sebab saya gak tahu sama sekali film 3 Doa 3 Cinta ini. Film bagus padahal.
Sinopsis
Film mengisahkan 3 serangkai dalam menjalani kehidupan pesantren sebelum tragedi 9/11. Huda (Nicholas Saputra), Rian (Yoga Pratama), dan Syahid (Yoga Bagus) adalah 3 sahabat yang mondok di Pondok Pesantren Al Hakim (Yogyakarta) sejak SMP.
Pada masa-masa akhir kelulusan SMAnya, ketiganya justru mendapat ujian hidup yang menggiring penonton ke alur cerita yang manis sekali. Huda, pemuda kalem yang gak pernah ditengokin Ibunya dan berhenti disuratin Ibunya waktu 2 SMA adalah santri kesayangan Kiai Wahib. Ada juga Rian, anak yatimi yang suka sekali kamera, lalu ada juga Syahid, anak petani yang sedang kebingungan karena Bapaknya sakit ginjal dengan biaya yang tidak sedikit.
Kisah dibuka dengan Kiai Wahib yang sedang memberian kajian kepada para santri dengan ayat-ayat penuh cinta seperti,
“Meskipun kita berbeda agama dan keyakinan, tetapi kalau dia menghormati kita, kita juga harus menghormati mereka.“
Berbeda dengan Kiai (saya lupa namanya lagi duh), mari kita sebut Kiai Fanatik saja, Kiai Fanatik ini memberikan kajian ‘keras’ kepada para santrinya bahwa,
“Semua yang aseng itu kafir! Semua orang yang bukan Islam itu harus hancur! Harus mati!”
Oh iya, FYI di pesantren ini setiap anak bebas memilih pengajian yang mana saja kalau sudah Isya. Huda dan Rian memilih untuk tetap dengan Kiai Wahib sedangkan Syahid, memilih dengan Kiai Fanatik.
Sebagaimana santri aktif pada umumnya, Huda dan Rian ini emang suka banget ke luar kalau sudah malam. Ya ke warkop, ke wartel, pasar malam, pokoknya di tempat-tempat yang memungkinkan mereka sebat garpit. Garpit, cuy! Nicholas Saputra tim garpit! Yeay! Tos dulu, Sayang!
Waktu berlalu, setelah Ujian Nasional, Huda memilih untuk mencari tahu ibunya di Jakarta. Dengan pengetahuannya yang seuprit, Huda memilih untuk mencari info tentang ibunya lewat Dona Satelit, seorang penyanyi dangdut beken di pasar malam yang sering didatangi Huda dan Rian kalau lagi mabal.
Rian yang baru dihadiahi ibunya handycam justru bete bukan main karena belum setahun bapaknya meninggal, si Ibu malah sudah mau kawin lagi. Sedangkan Syahid, seperti Arini, kelimpungan dengan Bapak yang sakit. Bapaknya yang petani dan punya beberapa hektar sawah ini justru melepas sawahnya dengan harga murah da keur butuh tea kumaha sih. Menariknya, sawah bapaknya Syahid ini terjual ke seorang WNA yang kemudian Syahid sebal banget tapi da kumaha deui. Bahkan, Syahid sampai bilang dan teriak ke WNA itu “kafir”. Untungnya, WNA itu gak ngerti.
Masa-masa akhir itu kemudian direkam oleh Rian. Tak jarang juga dipakai oleh Huda dan Syahid. Dengan handycam itu, Huda membantu Dona Satelit membuat video untuk casting, lalu Syahid merekam kegiatan bela diri yang diajarkan Kiai Fanatik kepada santri kajiannya.
Berbicara tentang Syahid, Kiai Fanatik juga selalu menyebut-nyebut kata seperti Israel, Amerika, jihad dan syahid. Sudah jelas kan arahnya ke mana?
Ya, di tengah kurangnya uang Syahid untuk pengobatan bapaknya di rumah sakit, Kiai Fanatik justru mempersiapkan santri-santri kajiannya untuk berjihad. Di malam sebelum pamit kepada bapaknya yang terbaring di rumah sakit, Syahid menggunakan handycam Rian untuk mendokumentasikan momen perpisahan dan klarifikasi dirinya.
Keesokan harinya, Syahid datang ke rumah sakit setelah WNA pembeli sawahnya itu meminta tanda tangan si Bapak untuk surat jual beli. Begitu si WNA pulang, tanpa disangka ternyata si WNA iba dan membiayai seluruh pengobatan Bapaknya Syahid (tanpa sepengetahuan Syahid). Syahid pun membatalkan kepergiannya berjihad, lalu pecahlah peristiwa 9/11. Kejadian ini membuat Huda, Rian, Kiai Wahib, dan Syahid ditahan polisi melalui bukti yang ada pada handycam Rian.
Eksposur Menarik yang Bikin Nostalgia
Sebagai anak yang gak pernah mondok tapi cukup oldskul, saya suka banyak bagian di film ini. Bikin saya bisa ngerasain hawa pondok tipis-tipis. Saya juga jadi nostalgia waktu zaman masih ke wartel.
Jujur! Yang tinggal di kota, kapan terakhir kalian mencium aroma dan licinnya lumut-lumut di bak wudhu?!
Scene ini adalah favorit saya. Saya jadi langsung ingat lemari di rumah Opung yang ditempeli kertas sampul atau koran untuk menanggulangi jamur.
Kritik Sosial yang Tajam pada Masanya
Yang tak kalah bikin saya kagum adalah, Nurman Hakim sebagai sutradara memunculkan kritik pedasnya terhadap kehidupan di lingkup pesantren. Bukan main, pada tahun 2008 mungkin semua orang masih belum begitu speak up terhadap kasus-kasus pelecehan di pesantren.
Di film ini, dapat kita temukan juga pelaku pelecehan seorang Ustas yang menyodomi santrinya. Ustas itu dikisahkan berakhir dibogem oleh Huda dan santri-santri lain di pesantren dan diusir.
Selain itu, Nurman pun menyisipkan kritiknya terhadap patriarki dalam film ini. Ada seorang Kiai Ridwan, yang melangsungkan pernikahan poligaminya yang ke-empat. Kiai Wahib juga digambarkan selalu berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki dari istrinya hanya agar ada yang meneruskan memimpin pondok pesantren itu.
Kesimpulan
3 Doa 3 Cinta bukan cuma cerita santri (baik-baik, yang nakalnya hanya sekadar mabal malam) doang, tapi juga kritik tajam soal romantisme dunia santri yang sering dipelintir jadi ruang kekuasaan dan kekerasan. Nurman Hakim menurut saya berhasil menyelipkan pesan-pesan keberagaman, kegelisahan, dan politik global dalam narasi yang aduhai indahnya. Terlebih dengan scene-scene ciamik yang bikin saya seolah bisa ngerasain aroma itu!
Rasanya film ini jauh lebih jujur dibanding dokumenter ala Amerika yang sibuk nyari validasi kebenaran satu arah. Iya, American Manhunt rasanya justru jadi semacam propaganda berbungkus footage serius dan scoring tegang.
3 Doa 3 Cinta menyodorkan perenungan tentang agama, kemiskinan, dan ketimpangan yang bisa jadi ladang subur radikalisme. Gimana, ya?
Menonton ulang film ini seperti menziarahi masa lalu aja, terlebih dengan narasi-narasi Israel, bom, Amerika itu tadi. Saja juga jadi ingat dulu tahun 2005, saya beli komputer, dan komputer itu dulu isinya games dari Flash Game. Ada Hangaroo, Who Wants to be A Millionaire?, ada juga game Osama bin Laden, yang nanti targetnya adalah lempar pisau atau nembak si Osama gitu.
Ya intinya, ini film yang bagus dan sayang untuk klean lewatkan. Film yang di tengah zaman kaok bana kini menuju Perang Dunia III (yang padahal Indonesia gak pernah diajak) ini jadi semacam pengingat kita bahwa jangan-jangan, kita sudah terlalu lama diam saat dunia di sekitar kita dibajak oleh tafsir-tafsir tunggal. Anjay! Tafsir tunggal ceunah!
Kesimpulannya, saya tetap tim garpit.
Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.