Teror Baru RUU KUHAP dan Stalking ala Pemerintah

Minpang

RUU KUHAP datang dengan ancaman pada privasi dan rasa aman warga negara.

Kenapa masih banyak jalan bolong di jalur lintas provinsi? ya orang DPR kalian lagi sibuk beresin RUU KUHAP. Biar bisa sadap WhatsApp kamu. Itu lebih urgent.

Meanwhile banyak pasalnya ternyata melawan privasi dan membatasi kebebasan warga negara. Di antaranya adalah Pasal 1 angka 30 dan Pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf h.


Yang pertama berbunyi,

Penyadapan adalah kegiatan untuk memperoleh informasi pribadi yang dilakukan secara rahasia, dalam penegakan hukum dengan cara mendengarkan, merekam, membelokkan, menghambat, mengubah, menyambungkan, memasang alat pada jaringan, memasang alat perekam secara tersembunyi, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan menggunakan jaringan kabel komunikasi, jaringan nirkabel, atau melalui jaringan sistem informasi elektronik internet, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Sementara yang kedua mengatur secara lebih spesifik bahwa kepolisian dalam penyelidikan diperbolehkan melakukan pembuntutan dan pelacakan terhadap seseorang yang mereka curigai telah melakukan kejahatan.


Penyelidikan sendiri, secara sederhana menurut Pasal 1 angka 8 RUU KUHAP, adalah tahapan awal untuk mencari tahu keberadaan bukti suatu tindak pidana. Baru setelah ini terpenuhi, proses hukumnya bisa naik ke tahap penyidikan, penyerahan berkas perkara ke jaksa penuntut umum, penuntutan, pemeriksaan, hingga pemberian vonis di pengadilan. Bisa dibilang, penyelidikan adalah tonggak awal proses hukum sebelum tahapan lainnya dilakukan.


Terkait pembuntutan dan pelacakan yang bersifat integral dalam proses ini, pihak kepolisian bisa langsung mengikuti gerak-gerik kamu dari titik A ke titik B. Mereka bisa tahu kalau habis Kamisan, misalnya, kamu nongkrong dulu di Warmindo Babajon buat fafifu ideologi selepas melahap mi dan mengepulkan asap rokok. Ditambah dengan akses penyadapan, percakapan yang kamu jaga susah payah di ruang obrolan—yang bersifat pribadi, seperti buku diary—bisa dengan mudah disadap.


Mereka tahu kalau kamu suka mengunggah meme Gibran di grup WhatsApp. Mereka tahu kamu sering merencanakan titik A untuk kumpul dan titik B untuk aksi. Mereka tahu sumber pendanaan gerakan dari siapa aja dan pembagian tugasnya gimana.


Kamu seolah-olah seketika hidup di dalam rumah kaca: hal-hal yang selama ini kamu sembunyikan bisa terpampang jelas—setidaknya untuk bapak-bapak berambut cepak yang suka pakai walkie talkie buat memproses hukum siapa pun yang dianggap mengganggu.


Ini menciptakan suasana teror kasatmata. Kamu memang tidak dikirimi surat kaleng, kepala babi, atau pukulan centeng, tetapi kesadaran bahwa kamu diawasi dari kejauhan membuat kamu menarik diri. Menjauh sejauh mungkin dari hal-hal yang selama ini kamu perjuangkan: kesetaraan gender, keadilan ekologis, perjuangan masyarakat adat, kepentingan kelas pekerja, dan lainnya.


Yang bikin Minpang khawatir adalah peran dan kewenangan kepolisian yang terlalu besar. Dengan seenaknya membuntuti dan menyadap—bahkan ke orang yang belum ditetapkan sebagai tersangka dan belum ada izin pengadilan—mereka jadi semakin sewenang-wenang. Ini rawan digunakan sebagai alat kekuasaan untuk merongrong suara atau wacana alternatif yang berusaha melawan kekejaman kekuasaan.


Selain itu, produk hukum yang melegitimasi praktik negara polisi ini juga cacat secara konstitusional dan cacat secara asas hukum. Minpang akan jelaskan detailnya di bawah ini.

Pelanggaran Konstitusional dan Asas Praduga Tak Bersalah


Pasal 1 angka 30 dan Pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf h RUU KUHAP yang mengatur tentang penyadapan, pembuntutan, dan pelacakan adalah pasal cacat konstitusional. Kedua tindakan ini bertentangan dengan semangat Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara atas perlindungan terhadap privasi dan rasa aman. Orang perlu merasa aman dalam menyuarakan pendapatnya—tanpa takut diikuti mobil hitam atau percakapannya direkam diam-diam.


Kalau hal ini dilanggar, maka yang muncul adalah kultur pembungkaman. Tidak ada lagi suara protes sebagai mekanisme pengawasan dalam negara demokrasi. Orang-orang keburu takut, atau paling tidak, siap-siap dikriminalisasi. Sebab penyelidikan adalah pintu masuk pertama sebelum seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka lewat penyidikan.


Lalu kenapa konstitusi mesti ditaati? Begini, ada yang namanya hierarki norma hukum berdasar asas lex superiori derogat legi inferiori, artinya norma hukum yang lebih rendah harus tunduk pada norma hukum yang lebih tinggi. Undang-undang—termasuk yang sifatnya dikodifikasi seperti RUU KUHAP ini—harus sesuai dengan norma yang lebih tinggi, yakni UUD 1945.


Ini bukan rumusan asal-asalan. Ahli hukum Hans Nawiasky justru menegaskan hal ini supaya proses legal drafting itu terarah dan tidak melawan etika atau kepantasan yang sudah menjadi konsensus bersama.


Selain itu, menyadap, membuntuti, dan melacak seseorang di tahap penyelidikan juga berarti melawan asas praduga tak bersalah. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak boleh dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ketika hal ini dilakukan terhadap seorang aktivis yang menyuarakan keresahannya, negara—melalui aparatus hukumnya—memperlakukan dia seolah penjahat yang kabur dari penjara dan layak dibuntuti sebelum akhirnya ditangkap.


Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita perlu secara sadar dan terencana menyiapkan perlawanan yang konkret dan menentukan di mana bargaining position kita berada.

Legislasi yang Payah: Pernyataan Sikap

Produk hukum seperti undang-undang itu tidak muncul tiba-tiba. Ia dirumuskan dan dibahas berkali-kali oleh berbagai anggota, ketua, dan wakil ketua DPR. Ada pihak-pihak yang pro dan ada yang kontra di gedung parlemen yang megah dan sejuk—yang dibangun pakai uang rakyat itu. Maka, tugas kita adalah dengan jeli memperhatikan siapa yang mendukung ketentuan ini, dan siapa yang membawa catatan kritis agar ketentuan tersebut tidak goal.


Sikap kita mesti jelas di sini. Kita perlu memprotes dan mengajak massa untuk m memprotes dan tidak memilih para pihak yang ikut mendukung ketentuan hukum problematik ini lagi dan bertekad untuk memilih mereka yang secara kritis menanggapi ketentuan hukum ini.


Fondasi kelangsungan jabatan adalah legitimasi. Jika rakyat bisa memfilter mana yang layak dipilih dan mana yang tidak, maka mereka yang kinerjanya payah bisa kehilangan legitimasi.

Selain itu bersuara menantang legislasi ini memang penting. Protes diperlukan untuk menciptakan kesan bahwa kita tidak membenarkan apalagi menormalisasi tindakan negara yang ugal-ugalan. Suara kita menciptakan persepsi pada para pejabat di DPR itu bahwa gerak-gerik mereka diawasi.


Sebenarnya, revisi atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) ini tidak terelakkan seiring perkembangan zaman dan semakin kompleksnya realitas hukum acara pidana. Tetapi, pasal-pasal yang problematik tidak bisa dibenarkan untuk dibiarkan. Karena apabila sebuah rancangan undang-undang sudah disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara, maka ia mengikat secara sah ke semua warga negara—kecuali ditentukan lain berdasarkan tanggal berlakunya. Maka, melawanlah selagi bisa ngelawan!

Lagian ngapain sih? caper banget. Kalau kalian yang di dalam gedung sana masih keukeuh kepoin kami, bersihin dulu tuh tahi kuping! Minimal biar bisa dengar! Selama ini kan kalian gak bisa dengar. Ooops.

Minpang di sini~

Related Post

No comments

Leave a Comment