
Ketika mendengarkan musik, konon katanya orang yang bersedih akan meratapi liriknya. Sedangkan orang-orang yang berbahagia cenderung akan menikmati musiknya. Ya, mungkin saja begitu. Tetapi kalau boleh jujur, nampaknya itu tidak terjadi pada musik dangdut.
Di hadapan musik dangdut, kebahagiaan dan kesedihan tak berupa. Apa pun perasaan yang sedang dirasakan, orang-orang tidak akan peduli lagi pada lirik lagu yang dinyanyikan. Jika lirik tersebut kebetulan relevan dengan apa yang orang rasakan saat itu, orang mungkin akan menangis, tetapi tetap sambil bergoyang.
Lagu Sayang dari Via Vallen, misalnya, lirik mana yang membuatmu merasa itu adalah lagu yang layak diekspresikan dengan sukacita? Rasanya tidak ada. Liriknya berkisah tentang cinta yang rumit dan penuh kerinduan, sehingga lagu tersebut dibuka dengan lirik yang berbunyi tentang jeritan hati dan janji cinta yang tak akan pernah habis. Lirik tersebut membuka kisah cinta yang rumit itu dengan iringan dentingan piano yang menegaskan bahwa lagu tersebut bukan lagu yang menggembirakan.
“Sayang opo koe krungu
Jerite atiku
Mengharap engkau kembali
Sayang nganti memutih rambutku
Ra bakal luntur tresnoku.”
Cerita sedih dan kerumitan lagu yang membawa nama Via Vallen meroket pada tahun 2017-an itu bahkan tidak hanya terjadi pada liriknya, melainkan sudah terasa jauh sebelum orang-orang bisa menikmatinya. Via pernah dilarang label untuk membawakan lagu tersebut secara on air karena dianggap sebagai lagu orang lain. Via juga mengaku pernah di-blacklist di beberapa media televisi lantaran pencipta lagu tersebut menuntutnya.
Meski kerumitan itu hadir, lagu yang diadaptasi dari lagu Jepang, Miraie milik Kiroro, dan diubah menjadi lagu dangdut berbahasa Jawa oleh Anton Obama, membawa nama Via Vallen ke berbagai acara bergengsi. Pada tahun 2018, Via dan musik dangdutnya menjadi hidangan utama dalam acara perayaan ulang tahun ke-5 stasiun televisi yang digawangi oleh mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif era Jokowi. Berkolaborasi dengan Boy William, seluruh penonton yang hadir dari kalangan selebritas ikut berdiri dan bergoyang tanpa sungkan. Di tahun yang sama juga, Via menjadi penyanyi dangdut pertama yang menyanyikan satu tema penuh dari ajang Asian Games.
Tentu saja berkah tersebut tidak hanya dirasakan oleh Via Vallen sebagai penyanyi, tetapi juga bisa dirasakan oleh musik yang dibawakannya. Sejak awal tahun 2000-an, kita kerap mendengar persepsi negatif masyarakat yang menyebut dangdut sebagai musik yang kampungan. Demi menghindari stigma tersebut, orang-orang yang menyukai musik dangdut, terutama anak muda, adakalanya harus menyingkir dari lingkungan demi mendengarkan musik dangdut kesukaannya.
Namun belakangan ini, berbeda dengan kondisi menyedihkan masyarakat Indonesia secara umum atas tindak tanduk pemerintah, kondisi menyedihkan yang dirasakan oleh penikmat musik dangdut sudah mereda. Musik dangdut semakin hits dan dekat dengan kalangan muda. Mereka bisa mendengarkan musik dangdut kapan saja dan di mana saja tanpa harus takut mendapat stigma.
Orang-orang yang tidak menyukai musik dangdut mungkin masih ada, tentu saja. Alasannya juga beragam. Ada yang mengatakan karena musiknya mendayu-dayu, liriknya yang penuh ratapan, atau karena beat-nya yang membosankan. Tetapi ketidaksukaan tersebut tidak berkembang sebagai stigma, melainkan sebagai preferensi yang berbeda, sesuatu yang seharusnya ya begitu saja sejak dulu.
Diterimanya musik dangdut oleh semua kalangan, terutama oleh anak muda, jelas membuat dangdut menjadi trendsetter bagi banyak karya lainnya. Ada banyak musisi musik dangdut yang kemudian namanya meroket sehingga dikenal banyak orang.
Pada pertengahan tahun 2019, misalnya, nama Denny Caknan menembus linimasa blantika musik Indonesia melalui single Kartonyono Medot Janji. Ia hadir dengan musik dangdut khas masyarakat Jawa Timur yang kemudian biasa kita sebut dengan koplo. Tempo dan iramanya dibuat lebih cepat sehingga melahirkan beat yang bisa membuat orang ingin bergoyang.
Setahun berselang, Denny Caknan menjadi tamu kolaborator di Grand Final ajang pencarian penyanyi berbakat di Indonesia yang melahirkan banyak penyanyi pop. Namanya semakin dikenal seiring musiknya yang semakin diterima luas oleh masyarakat. Lagunya nongkrong di warung-warung kopi, di perjalanan-perjalanan malam yang panjang dan melelahkan, dan diputar di berbagai platform media sosial. Pesonanya bahkan membuat banyak orang menyebutnya sebagai, tak main-main, penerus The Godfather of Broken Heart almarhum Didi Kempot. Tabik.
Dangdut, meskipun tak jauh-jauh dari kendang sebagai alat musik yang menunjukkan sebuah identitas, tetapi ia adalah musik yang membuka diri untuk terus tumbuh. Dangdut berdiri di antara tradisi dan modernitas sehingga mampu menunjukkan evolusinya sebagai musik yang mampu bertahan di industri. Selain koplo, dangdut melahirkan subgenre yang dihasilkan dari perpaduan Electronic Dance Music (EDM) seperti yang dipopulerkan oleh Feel Koplo. Sedangkan penyanyi hip hop, Tenxi dan Naykilla, mengadopsi elemen dangdut ke dalam lagu Garam & Madu yang kemudian menjadi subgenre yang disebut Hip Hop Dangdut (Hipdut).
Saya kira tidak berlebihan jika menilai dangdut bukan hanya sekadar musik, tetapi menjadi bagian amat penting dari kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Musik dangdut yang belakangan hadir di banyak festival musik atau yang biasa kita dengar melalui platform media sosial mungkin tidak memiliki lirik perlawanan terhadap banyak kebijakan pemerintah saat ini. Namun, jika kita ingin menghibur diri dan melepas stres atas hal-hal tersebut, dangdut bisa jadi jawabannya.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.