Daud Wicaksono: Gema Celo dari Panggung Orkestra

Minpang

Kang Daud berbagi fakta menarik tentang celo dan orkestra di sini.

Profil Singkat

Daud Wicaksono adalah pemain alat musik celo yang berasal dari Karawang. Awalnya, ketertarikannya dalam bidang musik justru muncul dari genre yang jauh dari orkestra klasik—musik power metal yang kaya distorsi dan energi. Ia sempat menekuni dunia penataan musik teater, sebelum akhirnya berkenalan dengan celo dan musik orkestra pada tahun 2015 melalui bimbingan Asep Hidayat, seorang virtuoso cello dari ISI Yogyakarta. Dari situlah Daud mulai menapaki jalur baru dalam bermusik yang lebih kompleks secara struktur dan emosi.

Sejak dua tahun lalu, Daud sudah berhasil lolos seleksi ketat untuk bergabung menjadi salah satu bagian dalam Garudayaksa Indonesian Philharmonic—kelompok musik orkestra yang tampil di hadapan Presiden Prabowo Subianto. Lewat wawancara bersama Nyimpang, Daud bercerita soal lika-liku kariernya, refleksi soal seni di Karawang, hingga keyakinannya bahwa musik tak cukup sekadar tampil di panggung, tetapi harus menyentuh kehidupan sosial. Simak kisah lengkapnya di artikel ini:

Boleh kenalan dulu nggak? Nama lengkap kamu siapa dan asalnya dari mana?

Halo, lengkapnya saya Daud Wicaksono. Saya asli dari Karawang, Mas.

Asli Karawang, berarti sudah familiar dengan berbagai hal di sini?

Iya, lumayan, akrab dengan pemandangan kota dan kulinernya di sini. Tapi setelah saya berkecimpung di luar kota, saya jadi kurang tahu apa yang terjadi lagi di sini. Soalnya saya merasa kalau terus di sini, karier saya gak berkembang. Kita gak bisa memaksakan diri tetap di tempat yang gak mendukung perkembangan kita.

Oke. Jadi Kang Daud ini seperti seorang Stoik yang memahami dichotomy of control—menerima hal di luar kendali dan berusaha mengubah apa yang bisa diubah?


Betul sekali, Kang.

Kang Daud dikenal sebagai musisi yang menggeluti musik orkestra khususnya celo. Bagaimana awal ketertarikan Kang Daud pada musik itu?

Awalnya saya tidak tertarik dengan musik orkestra atau celo. Saya justru suka musik power metal dan sempat membuat band dengan teman-teman SMA dengan genre itu. Saya senang dengan distorsi gitar. Seiring waktu, saya mulai menata musik teater dan memegang berbagai alat musik. Saya bergabung dengan berbagai teater di Jakarta, yakni Teater El Nama, Teater Syahid, dan Tjelah Teater.

Kemudian pada 2015, saat kuliah Teologi dan Filosofi, saya mengenal celo karena berguru pada bapak Asep Hidayat, yakni seorang Virtuoso Cello dan Dosen Musik ISI Yogyakarta.

Kenapa Kang Daud tertarik bermusik lewat medium celo?
 

Celo memiliki karakter unik dan kaya suara. Ia bisa menggantikan bass ataupun biola di rentang tertentu, terutama nada-nada tinggi. Melodi celo terdengar tegar meski sedih, berbeda dengan biola yang cenderung cengeng banget.

Ouh, jadi seolah alat musik itu berkata, “Walau ombak kehidupan besar, tetaplah berdiri!” Gitu iya?

Iya, Mas. Itulah salah satu karakteristik musik celo yang bisa memukau penonton.

Jadi celo ini bisa langsung menyentuh hati penonton?

Betul sekali! Salah satu contohnya adalah  karya “Suite in G Mayor” karya J.S. Bach yang sangat menyentuh. Melodinya sederhana tapi penuh kehangatan dan membangkitkan rasa damai.

Oh iya, kenapa nih Kang Daud sendiri senang mengulik musik orkestra?

Karena musik orkestra sendiri itu unik. Ia memiliki struktur tertentu yang dinamis. Belum lagi, musik ini pun bersinggungan dengan sejarah, politik, dan suasana zaman. Setiap karya orkestra sering punya tujuan sipil, politik, atau lainnya.

Musik orkestra itu menyajikan nilai edukasi dan historis. Musik orkestra itu berkenaan dengan ritme, partitur, panjang pendek nada, dan ukuran instrumen untuk menghasilkan kesan suara tertentu.

Musik orkestra juga mampu menggambarkan konteks sosial-politik dan sosok penting zaman itu. contohnya saja misalnya karya Tchaikovsky di masa Orde Lama Indonesia.

Ini menarik! Lalu Kang Daud sendiri menciptakan karya musik untuk tujuan apa?

Pada umumnya di dunia ini ada tiga tujuan seorang musisi menciptakan karya: pertama, menerima pesanan; kedua, ekspresi diri; ketiga, memvisualisasikan peristiwa atau kronologi. Saat ini saya fokus pada pesanan dan ekspresi diri—misalnya untuk yang terakhir itu satu karya per bulan menjadi target pribadi.

Kalau konteksnya yang pertama, bisa tolong ceritakan tema pesanan apa yang terakhir Kang Daud garap?

Waktu itu saya membuat musik untuk HUT Pemkab Karawang dengan tema perang Banten versus tentara Karawang. Ada unsur patriotisme di situ. Setelah tema dan judul sudah jelas, saya biasanya riset bahan dan menggelar latihan supaya saat perform siap banget.

Jadi sebagai seniman kita mesti bisa menyesuaikan output sesuai permintaan klien ya. Kalau membuat musik untuk diri sendiri, hal apa yang Kang Daud ekspresikan?

Banyak hal, Mas. Ekspresi pribadi saya: perasaan, pemikiran, dan keyakinan saya selama ini.

Oh iya, Ada yang bilang, “Tiada karya seni yang selesai.” Karena kan selalu ada ruang untuk perbaikan. Kalau menurut Kang Daud sendiri gimana?

Iya. Misalnya “Simfoni No. 9” Beethoven sering disebut sebagai simfoni terakhir, padahal itu julukan media. Sebelum meninggal, komposer biasanya membuat karya terakhir untuk menyambut kematiannya.

Berarti musik bisa menyentuh sisi terdalam manusia, termasuk momen mendekati kematian?

Betul. Musik mengungkapkan perasaan atau suasana yang kata-kata tak mampu sampaikan, seperti sentuhan musik di film horor untuk kesan menyeramkan.

Film kuntilanak tanpa musik seram, misalnya diganti soundtrack Spongebob, rasanya jadi tidak menakutkan. Hehehe. Menurut Kang Daud, apa lagi arti musik?

Musik itu teknologi. Kehadirannya terstruktur dengan pola. Setelah Abad Pencerahan, musik barat lahir karena hitungan matematis—panjang instrumen, notasi, gesekan, ritme. Saya menyesal dulu tidak belajar matematika dan fisika; keduanya sangat terkait musik.

Ini relate banget bagi saya yang menulis puisi—menghitung suku kata, rima, dan ritme pola. Oh iya, denger-denger, Kang Daud ini sudah 2 tahun menjadi salah satu pemain celo di orkestra milik Pak Prabowo yang bernama Garudayaksa Indonesian Philharmonic. Bisa diceritakan?

Iya, jadi setelah Prabowo Subianto resmi menjadi Presiden RI, audisi grup musik orkestra itu dibuka. Kami waktu itu melalui proses seleksi yang sulit dan panjang. Banyak yang jago-jago tapi nggak lolos—alhamdulillah kami lolos.

Audisi tersebut ada karena pada dasarnya Pak Prabowo sendiri senang musik-musik klasik, seperti karya Beethoven, Mozart, dan Tchaikovsky. Beliau juga senang karena musik ini bisa digunakan untuk menyambut tamu-tamu asing yang datang ke sini. Masalahnya, kan saat Presiden Indonesia ke luar negeri—dia disambut meriah, masa iya, ketika yang lain datang ke sini, kita sambut dengan seadanya? Kan gak mungkin.

Musik klasik orkestra juga bisa relate dengan berbagai tamu dari negara Eropa. Pejabat-pejabat Prancis, Italia, dan Jerman, kan, sudah tidak asing dengan hal seperti itu.

Saya merasa Pak Prabowo memang berbeda dari yang lain—dalam arti, beliau bisa memberikan kepedulian pada kaum musisi orkestra. Saat kami tampil di Hambalang, di rumahnya di Bogor itu, kami dibayar dengan layak. Dan kami dibayar bukan oleh uang negara, tapi oleh uang pribadi Prabowo sendiri. Yang lebih berkesan lagi, kami membuat pertunjukan untuk Prabowo seorang, bukan untuk khalayak luas. Apresiasi Pak Prabowo terhadap musisi musik klasik sangat besar.

Keren ini, Kang. Tapi, untuk lokalan sendiri, ada harapan menggelar konser orkestra di Karawang gak ke depan?

Jujur ada, tapi sulit. Pemerintah kurang paham dan kurang peduli terhadap konsep orkestra. Beberapa pihak menggunakan sequencer seolah lip sync pakai alat musik, saking gak niatnya menampilkan orkestra dan cuma menjadikannya sebagai simbol gengsi atau seremonial aja.

Sama halnya dengan kesenian Karawang—selama Karawang belum memiliki sekolah menengah kesenian dan institusi kesenian, seni hanya akan menjadi bayangan semu yang dijadikan alat seremonial belaka. Mesti dijalani konsep art of art.

Sepakat. Pierre Bourdieu mengatakan bahwa orang menampilkan cultural capital untuk pansos. Mungkin pejabat Pemkab ingin dipersepsikan punya selera tinggi dengan sekadar menjadikan musik orkestra ajang gengsi sehingga dipersepsikan layak punya jabatan lebih tinggi?

Betul sekali.

Ngomong-ngomong soal orkestra, Bagaimana perasaan Kang Daud saat di atas panggung?

Pertama kali grogi sekali: dag-dig-dug der! Sekarang sudah lebih santai, tapi saya selalu memikirkan reaksi penonton dan efek positif atau negatif setelah penampilan.

Tapi, kesan penonton yang selama ini Kang Daud rasakan sendiri bagaimana?

Alhamdulillah, mereka mengapresiasi dengan memberikan bunga dan ucapan terima kasih—mirip momen wisuda memang kalau konteksnya itu musik orkestra. Itu menunjukkan mereka benar-benar memahami dan menghargai kemampuan bermusik kami.

Iya lagi. Karena musik orkestra lebih kompleks sehingga butuh skill lebih. Berbeda banget dengan musik punk yang cuma butuh chord sederhana.

Iya, orkestra punya struktur kompleks: bagian naik turun, dinamikanya berbeda dengan musik metal atau punk, yang konstan keras melalui iringan distorsi, ketukan drum yang cepat, dan betotan bass yang menggelegar keras.

Oh iya, denger-denger Kang Daud juga ngajar musik nih. Nah, metode mengajarnya tuh gimana supaya efektif?

Mengajarnya offline langsung. Saya ajak diskusi, membiarkan mereka mengkritik saya tapi sesuai adab, dan praktik bermain alat musik bersama. Jadi konsepnya learning by doing. Apa yang sudah dipelajari, langsung dipraktekkan supaya tahu perkembangannya. Perihal biaya sendiri, saya tidak memungut biaya, asalkan muridnya serius mau belajar bareng.

Sepakat, Kang! Metode ini sesuai ajaran Paulo Freire, murid-murid adalah subjek yang aktif, bukan pasif. Mereka gak cuma menerima dan mencerna ajaran dari guru, tapi juga ikut berdiskusi dan praktek langsung.

Betul, Kang, dan itu memang cara belajar yang saya sukai.

Oh iya, biasanya Kang Daud bertanya gak ke diri sendiri: apa impact musik yang bisa saya berikan?

Iya, saya suka mempertanyakan itu.

Bagaimana Kang Daud menemukan jawabannya?

Saya membuka diri ke lingkungan: membantu kebersihan, ngobrol, dan berdiskusi dengan tetangga. Mendengarkan cerita dan keluh kesah mereka. Dari situ muncul ide segar untuk musik yang bisa menggambarkan suasana sekitar.

Ke depan, proyek musik Kang Daud pengennya seperti apa?

Karya musik saya harus peka terhadap persoalan sosial dan menerjemahkannya dalam karya—menyentuh orang di luar panggung.

Jadi dampak musik tidak berhenti di atas panggung?

Iya. Panggung itu sandiwara; yang nyata adalah dampak di lingkungan—seperti kerja bakti yang dirasakan tetangga.

Berarti seniman tidak boleh berjarak dari lingkungan sosialnya iya?

Betul. Percuma bicara kalau berjarak.

Terakhir, apa pesan untuk pembaca Nyimpang yang tertarik pada musik orkestra?

Musik orkestra itu lebih dari sekadar hiburan; ia punya nilai edukasi. Biasanya penonton mahasiswa mencatat detail karya tanpa terlewat. Music of Art berbeda dengan Music of Entertainment: pasar, marketing, dan konteksnya berbeda. Musik orkestra melampaui hal tersebut.

Minpang di sini~

Related Post

No comments

Leave a Comment