Three Billboards Outside Ebbing, Missouri: Iklan Ini Disponsori Kemalasan Paladusing

Saya tak ingat betul tahun pertama menonton film ini. Yang jelas, waktu itu saya masih sama Dikdik. Kalau tidak salah, film ini ada di dalam file film di laptopnya. Saya ingat kualitas gambarnya bikin saya muak. Maklum, dulu masih zaman download film di Ganool dengan nebeng WiFi kampus.

The Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017) adalah film yang muncul di kepala saya ketika melihat penyangkalan Menteri Tidak Kalcer terhadap korban perkosaan massal 1998.

Saya membayangkan betapa indah bila deretan billboard di Jalan Tengah di Purwakarta majang muka Fadli Zon(k) dengan badan babi lengkap dengan tulisan,

Raped While Dying?

How Come, Fadli Zon(k)?

And Still No Arrest?

Wah. Kalau saya punya duit untuk menyewa billboard di Purwakarta dalam waktu sehari saja, saya yakin KDM bingung mau menjarain siapa duluan. Pelaku 1998, Ketum Gerindra, atau saya:( Muehehe.

Kisah diawali dengan (bacanya harus kayak IQ7) seorang ibu bernama Mildred yang jengah karena kasus pembunuhan anaknya tak juga diusut paladusing Kota Ebbing. Ya, Mildred merupakan seorang ibu yang putrinya ditemukan tewas mengenaskan setelah (diketahui) diperkosa. Tewas mengenaskan, dibakar setelah diperkosa, di tepi jalan.

Si Ibu, dengan segepok uang yang ia punya memilih untuk memasang iklan di tiga papan iklan di pinggir jalan kota kecil yang sudah jarang dilalui orang. Kalau di Purwakarta mungkin, jalur Cikalong-Padalarang, atau Wanayasa, bisa juga Bojong tapi sejujurnya lebih mirip jalan Pantura semenjak ada tol Jawa. Ya intinya, membayar tiga papan iklan itu bentuk kemarahan yang begitu elegan, bukan?

Mildred ketika melihat billboards usang dan mulai memiliki ide untuk menyewa billboards itu dengan quotes sindiran kepada pihak kepolisian setempat.
Mildred membayar uang sewa untuk tiga papan iklan.

Bagian yang paling menyedihkan adalah, penulis naskah film ini, Martin McDonagh mendapatkan inspirasi waktu ia melewati sebuah jalan di Florida. Dalam perjalanannya, Martin melihat sebuah papan bertuliskan sindiran terhadap sebuah kasus yang belum atau tidak dituntaskan.

Film ini mengingatkan saya pada sebuah film thriller artsy nan penuh warna berjudul Midsommar. Kualitas dan tekanannya bukan main jelasnya. Menyilaukan penonton dengan fakta yang terjadi di hampir seluruh belahan dunia: keadilan memang tak pernah menjadi milik semua orang.

Three BIllboards Outside Ebbing, Missouri lebih menyeramkan daripada Midsommar. Melalui pace yang super-duper lamban, penonton dibuat berlelah-lelah ria untuk menahan teriak dan amarahnya. Menekan psikologis saya dengan tepat. Ya, lamban sekali. Seperti gerakan jalan polisi-polisi buncit kebanyakan makan uang tilang dan njaprem pabrik.

Kalau Para Penyimpang baca ulasan saya sebelumnya yang bahas film The Odd Life of Timothy Green, kurang lebih kehidupan di Ebbing ini persis begitu. Kota kecil nirprivasi yang setiap masyarakat tuh tahu masalah si A, tahu sejarah si B, bahkan mungkin sampai tahu warna kaos kutang yang dipakai sama Mbahnya si C.

Mildred, yang secara personal udah punya masalah sama Dixon (paladusing kebanyakan ciu) harus menahan diri buat gak matahin leher si Dixon karena kasus kematian anaknya diludahi kepolisian dengan cara gak ngusut dan gak pernah berniat mencari pelakunya. Ya mirip-mirip di Indonesia, lah.

Tiga papan iklan itu jadi viral dan diliput media lokal. Mildred tentu senang karena memang inilah tujuannya, untuk mengatakan pada dunia bahwa kepolisian di Ebbing tidak pernah becus mengurus kasus.

Mildred muncul di stasiun televisi lokal dan menjelaskan alasannya memasang tiga papan iklan itu.

Namun paladusing tetaplah paladusing. Begitu beritanya viral, hal yang pertama dilakukan bukan bebenah dan segera menyelesaikan tugas, tapi datangi, intimidasi, represi, lalu habisi (kalau sepi). Ya mirip-mirip geng-gengan komdis kalau mau ngelabrak orang padahal udah jelas-jelas salah, lah.

Kepala Kepolisian Ebbing, Will, mendatangi Mildred. Awalnya marah-marah, kesal karena namanya terpampang di reklame itu dengan bilang kalau,

“Memasang reklame itu tidaklah adil.”

Eits. Iya, saya tahu persis apa yang mau kalian katakan. Tapi, tahan. Tunggu dulu.

Paladusing mau playing victim

Gagal dengan playing victimnya karena Mildred jutek mampus, Will langsung menggunakan taktik “menjual kisah sedih” tidak di hari Minggu. Wah, betul-betul mirip di Indonesia waktu zaman kampanye, ya. Muncul video capres menangys kalah debat dan narasi cinta-cintaan menantu yang dibuang mertuanya karena gagal nyapres.

Ya! Lucu sekali, bukan? Frances McDormand tampil mematikan dengan wajah juteknya. Tingkat kejudesan yang pas untuk ibu yang marah dan mennyimpan dendam, tetap tenang, tapi sorot mata dan angkatan dagunya mewakili perasaan semua korban pelecehan dan kekerasan seksual di semua negara. Di film ini, Frances alias pemeran Mildred gak pernah senyum. Full marah-marah pokoknya. Tapi bukan marah bebeledagan, marah yang tertanam, marah yang tertahan, marah yang gak bisa apa-apa tapi bisa meledak juga.

Padahal kalau sudah tahu sekarat, ya berubah jadi lebih baik! Beresin tugas-tugas yang belum selesai, bukannya malah denial kayak Fadli Zon(k)!

Dixon, paladusing yang lebih mirip preman lokal banyak melontarkan kalimat rasis dan banyak melangsungkan aksi represi sok keren dengan nonjokkin Red, pemilik billboard.

Selain mengisahkan perjuangan Mildred, film ini juga mengulas banyak arogansi kepolisian yang rasis naudzubillah. Gagal menyerang Mildred, Dixon mulai melakukan aksi-aksi represi kepada perusahaan pemilik reklame itu, Red. Sampai-sampai Red dilempar ke jendela dan masuk rumah sakit.

Mantan suami Mildred yang juga merupakan ayah korban, justru datang mendatangi Mildred dan memaksa Mildred buat berhenti masang iklan itu. Mildred tentu saja marah, bukan cuma Mildred malah. Manusia gak punya nurani memang begitu. Gak pernah put his shoes on another! Sama aja seperti banyak warga yang membela kepolisian dan berpikir bahwa Mildred kelewatan.

Hari demi hari, kepolisian masih tak bergerak dan Will mati. Di sinilah perasaan lega mulai muncul. Bukan karena kasus tiba-tiba selesai dan menemukan titik terang, justru kita baru bisa melepaskan marah karena memang sudah waktunya!

Film ini gak akan memunculkan plot-twist atau pertaubatan orang-orang goblok seperti FTV Indosiar. Lebih daripada itu, Three Billboards Outside Ebbing, Missouri menuntaskan perjalanan panjang perjuangan ibu yang nyari keadilan buat anaknya.

Menontonnya membuat kita seperti menahan napas pada 60 menit pertama, tapi setelahnya barulah kita bisa bernapas lagi, berteriak lagi, dan bilang,

Mampus lo amj1nk!”

Oh iya, semua aktor yang bermain di sini memainkan peran yang sangat baik! Gak ada yang dominan, karena Frances memang layak mendapat spotlight dengan porsi segitu.

Suka, deh. Paladusing dengan seragam, lencana, dan retorika kosongnya digambarkan dengan baik sebagai penindas masyarakat. Penonton dibuat kesal karena harus nahan marah karena hasrat ingin mukulin orangnya juga muncul, sih.

Tonton film ini biar kamu tahu rasanya dicuekin negara, rasanya jadi korban yang terus disuruh diam. Terus marah-marah, terus menggerutu, sebab seperti Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, billboard bukan cuma papan iklan, tapi juga suara. Sebab suara itu, hari ini, besok atau nanti, bisa datang dari jalan-jalan sepi dan gang-gang sempit seperti Purwakarta.

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!