
Saya sedang menikmati perjalanan kereta pertama saya ke Cirebon untuk menuju ke Kuningan. Kami memiliki agenda melihat pembukaan perhelatan Seren Taun, sebuah tradisi panen raya dari masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan.
Saya diajak Mbak Tati, sahabat baru saya sejak Januari. Cahaya baru dalam hidup saya, dan mungkin saya betul-betul ingin keren jadi seperti beliau. Sayang, dalam perjalanan, Mbak Tati banyak sekali menggerutui Jokowi, Dedi Mulyadi, dan Fadli Zon(k). Tidak mengganggu, karena saya juga seperti itu, dan menggerutu adalah satu diantara syarat menjadi keren di negara ini.
Jujur saja, pekerjaan utama yang sering bikin saya migrain ini justru ngebuat berita-berita terkini jadi gak saya baca kecuali kalau tiba-tiba muncul di IG. Yang terbaru, komandan ngab-ngab tidak berbudaya ternyata menyebut bahwa perkosaan massal 1998 adalah hoax dan tidak terbukti kebenarannya.
Lagi dan lagi, cowok redflag mampus a.k.a Fadli Zon(k) minta di-cancel culture. Masih dalam proses pengerjaan proyek amnesia nasional yang ia mandori, dia bilang:
“Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Gak pernah ada proofnya. Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku Sejarah itu? Gak pernah ada. Nah… rumor-rumor seperti itu, menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan.”
Fadli Zon(k), dengan sadar tanpa efek kecubung, 2025.
Mendengar hal itu, rasanya saya ingin bilang:
Wuhu! Orde Baru 2.0! Welcome to Indonesia Neo-Orba. Bahaya Laten Pikunis!
Aduh, Fadli. Kamu itu kuliah di FIB, kamu tuh anak sastra tapi kok kayak anak gak pernah baca buku, sih?! Fadli pasti tipe-tipe orang yang update buku biar dibilang keren doang. Yakin sih dia pas muda tipe abang-abangan komdis nganggur sok uhuy gitu.
Saya jadi menyesal, kenapa waktu ke Kuningan kemarin saya gak komporin Mbak Tati ya? Jelas gerutuannya gak sebanding dengan rasa kesal beliau ketika tahu Fadli Zon(k) bicara gitu.
Saya membaca sebuah buku berjudul Menjadi Perempuan. Himpunan esai teman-teman perempuan dari seluruh Indonesia yang diterbitkan oleh Magdalene. Begini pengantar dari penyuntingnya,
Buku Menjadi Perempuan ini dibuka dengan sebuah artikel tentang budaya pemerkosaan. Mengapa? Karena budaya pemerkosaan adalah perwujudan terburuk dari masyarakat patriarkal yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki.
Kemudian penyangkalan Fadli Zon, sebagai Menteri Kebudayaan, membuktikan pengantar pada Menjadi Perempuan ini 100% benar.
Pada lain kesempatan, ketika ucapannya sudah menuai procons, Fadli mengatakan bahwa,
“Kita tidak mau mencari-cari kesalahan.”
Sungguh ucapan yang tidak kalcer. Iya lagi iya lagi.
Melalui sebuah Live di IDN Times, Mbak Nanaku sayang, bilang bahwa ungkapan Fadli ini adalah culture of denial. Tentu za.
Fadli Zon(k) berhasil menjadi Menteri Kebudayaan Indonesia. Kurang representatif apa coba dia?
Budaya denial, budaya gaslighting, budaya cancel-cancel pameran, budaya senioritas, budaya patriarki, budaya nyalahin orang karena ketidakmampuan diri sendiri, budaya pemanfaatan aset negara buat jemput anak di Bandara. Ntaps.
Presiden Habibi saja mengakui, kok. Sampai akhirnya dibikin itu Komnas Perempuan based on Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998. Pengakuan ini yang jadi dasar pembentukan Komnas Perempuan. Pengakuan ini yang jadi awal mulai Mbak Tati dan kawan-kawannya.
Afutami dalam video lamanya di Frame & Sentences pernah bahas ini. Waktu itu, Afu selesai menonton Dunkirk. Ya, Afu menonton Dunkirk di ruangan yang penuh dengan warga Jerman. Afu lalu bertanya-tanya kurang lebih,
“Gimana ya rasanya menonton film yang menunjukkan kesalahan negara sendiri?”
Masih dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Afu berjalan mengunjungi museum Holocaust.
Lalu, pada akhir videonya, saya masih mengingat dengan baik Afu bilang,
“Kadang, yang putih dan yang hitam itu udah gak penting lagi. Biarlah tetap jadi abu-abu, yang jelas kita menerima bahwa hal itu pernah terjadi. Dari situ kita baru bisa belajar.”
Begitu lah closing statement Afu.
2023 saya menonton film sebuah film pendek edisi Buried Chapter berjudul Hotline 1998. Tidak selesai karena terlalu banyak trigger yang pada saat itu belum bisa saya kontrol. Bahkan ketika saya menulis ini, saya masih berurai air mata.
Kemudian begini: saya tahu saya tidak sendirian. Saya tahu amarah ini bukan cuma milik saya. Saya tahu trauma ini bukan punya satu-dua orang saja, ketakutan ini diwariskan dan dipelihara oleh sistem yang membiarkan Fadli Zon(k) duduk nyaman di kursi Menteri Kebudayaan sambil menumpuk tahi kuping!
Saya juga tahu bahwa kebenaran tidak akan pernah padam hanya karena disangkal oleh seorang pria tua sok kalcer miskin literasi. Yang doyan bikin-bikin epistemic violence. Secara langsung Fadli Zon(k) menegaskan bahwa negara ini masih takut pada ingatan. Seperti mantan yang takut dihantui kenangan saja.
Tapi saya gak takut sebab bagi saya, bersama teman-teman yang lebih dulu menyalakan cahaya, seperti Mbak Tati, saya akan terus ada di sisi korban. Saya akan terus percaya pada cerita mereka, bukan pada mulut-mulut monyong pejabat yang kerjanya cuma mengerdilkan kebenaran.
Saya percaya bahwa setiap air mata, tulisan, gerutuan, adalah bagian dari perjuangan.
Fadli Zon(k) saat ini mungkin disebut Menteri Kebudayaan, tapi dia gaslighting dan itu tolol. Negara juga sama aja. Ah! Semua jajaran parlemen tolol! Dan biarlah sejarah mencatatnya demikian.
Kalau bukan di buku sejarah negara, ya minimal di Nyimpangdotcom kek, di dalam puisi, pada tembok dan mural jalanan, pada pertunjukkan teater, arsip komunitas, dan di reels Instagram kami yang followersnya Cuma 2.000 itu. Ya, setidaknya tidak pikun seperti Fadli Zon(k). Awokwok. Ampun, Bah.
Sebagai sesama anak sastra, saya punya puisi buat Fadli. Ini buat yang kemarin pada tanya puisi tentang Pocong. Saya beri judul, Ada Pocong di Istana.
Ada Pocong di Istana
semua orang bisa melihatnya
tak terkecuali yang duduk di singgasana
makhlus halus rendah empati
menyangkal fakta kebobrokan negara sendiri
dikafani ambisi-ambisi
menjelma menteri
ahli manipulasi
tipu sana tipu sini
ada pocong di istana
turun 32 kilo berat badannya
kini sudah pandai berpolitik
fafifu menghindari korban dan tragedi dengan taktik
ada pocong di istana
menyebar hoax ke pelosok negeri
meneror ibu pertiwi
2025
Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.