Lumpur Masa Lalu dan Babi-Babi yang Suka Berguling di Dalamnya

Sudah hampir satu tahun aku pindah dari rumah, kampung halaman yang “hijau dan sederhana,” seperti petikan puisinya Kang Tia Setiadi yang aku lupa judulnya. Pada awalnya, aku cemas aku akan kesulitan untuk menggapai dunia luar. Sebab menurutku, desa dengan segala isinya memang terbatas dan aksesnya pun hanya itu-itu saja. Jadi, bisa dikatakan sulit ditemukan sinyal. Ya, sebenarnya bisa-bisa saja mencari dan datang sendiri, tapi kan ini gak se-simple hidup di tengah kota Yogyakarta.

Mungkin, bagi sebagian orang yang hidup di desa, pergi ke warung adalah jalan terbaik menjangkau informasi. Iya, warung jadi sat informasi bergerak cepat dari mulut satu ke mulut yang lainnya. Ya, bisa dibilang saling menyambung lidah dari satu lidah ke lidah lainnya.

Hal itu lumrah bagi mereka yang sehari-harinya mengandalkan kata “jarene” atau “jarang benere”. Mereka tidak peduli benar tidaknya informasi itu. Kadang, mereka hanya ingin melampiaskan emosi negatifnya pada sasaran yang sedang dibicarakannya itu, seperti saya dan kita semua.

Beberapa tulisan sebelumnya, yang di-published di web ini, juga sama sumbernya dari warung satu ini. Pada saat itu, saya sedang beli lauk, seperti lotek tanpa bongko dan rumbah dengan sambal yang terpisah. Saya duduk di kursi depan warung sambil scrolling Facebook menunggu rumbah dan lotek itu selesai. 

Dari arah belakang, terdengar suara dari ibu itu. Ia bertanya perihal aku yang terlihat asing olehnya. Aku menjawab sekenanya dan memang pengen basa-basi saja biar tidak terkesan cuek dengan orang-orang sekitar.

Tanpa berbasa-basi panjang, ibu itu langsung tanya padaku,

“Kau anak dari bapak pertama atau kedua?”

Aneh, tapi ya ngapain juga nanya gitu?! Saya pikir gak gitu pas untuk orang yang kali pertama bertemu dengan saya nanyain hal itu. Ya, kan?

Karena saya memaklumi apa saja yang belum saya pahami sebelumnya di kampung halaman ini, saya langsung mengiyakan saja dan menjawab sekenanya juga. Sekonyong-konyong, itu ibu-ibu malah memulai bahasannya dengan penuh ucapan seperti,

Orang dulu mah gitu.”

Orang-orang dulu tuh kenapa sih pada bercerai?!” tayanya dengan perasaan penuh penyesalan. Ibu itu melanjutkan obrolan yang terlihat seperti racauan yang ngalor-ngidul. Saya mendengar hal itu langsung merasa cemas terhadap omongan ibu itu yang semakin lama semakin ngawur.

Ia bicara sendiri dan gresulo terhadap penyesalan zaman ini atau jangan-jangan ia merujuk pada manusia setelah Nabi Adam yang bercerai? Saya tak tahu pasti ke mana arah pembicaraan ibu itu~

Pada dasarnya, saya sama seperti yang lain. Selalu melihat bahwa masa lalu tempatnya memang di belakang, dan masa depan adalah kabut: tak terlihat dan tak pasti. Saya (dan semoga saja kita) kadang menjadikan kesalahan di masa lalu sebagai pelajaran yang sangat berharga.

Ya sesuai lah dengan quotes-quotes di bawah buku Kiky dan Sidu kita. Begini kira-kira bunyinya, “Experience is the best teacher,” saya mengamini betul kutipan itu dan ya! Ia membimbing manusia dari tangga bawah ke tangga paling atas.

Pengalaman mampu memperbaiki langkah manusia yang seringkali masuk ke dalam lubang kebodohan. Kini, beberapa manusia itu keluar dari lubang kebodohan itu dan berada di puncak pengetahuan. Lebay tapi intinya begitu.

Seperti yang sudah saya bilang tadi, masa depan begitu semu dan kita tidak bisa menebak atau memastikan apa yang kelak dialami oleh seseorang. Beberapa dari masyarakat kita, ketika melihat seseorang dengan tingkah lakunya yang buruk, mereka langsung melontarkan kata-kata yang buruk.

Contohnya seperti,

“Masa depan suram,”

“Ia tak lagi punya masa depan,”

“Ia tidak layak hidup di kemudian hari,”

dan masih banyak omongan yang bernada jauh dari kata positif.

Kemarin hari, saya melihat sebuah podcast di channel Youtube Has Creative, yang sekarang digawangi oleh Ghofar Hilman. Bintang tamunya Adreano Qalbi dengan Coki Pardede. Mereka membicarakan soal adil atau tidaknya seorang pelawak yang zaman dulu melawaknya, mungkin melewati batas-batas humanisme.

“Nah, lawakannya itu dibawa di zaman sekarang, adil nggak kira-kira?” begitu kira-kira kata host yang senang modif mobil itu.

Lalu, Coki menjawab, “Ya, memang tidak adil. Seorang itu bisa berubah. Kita tidak bisa menyamakannya di zaman sekarang.” 

Masih dalam tema pembahasan kali ini, bahwa orang bisa berubah seiring dengan berjalannya waktu. Mereka yang “merasa” menjadi pelaku akan belajar atau nama lainnya adalah proses untuk menjadi lebih baik. Setidaknya, ada usaha dari diri mereka sendiri untuk berubah.

Lalu, pertanyaanya bagaimana dengan mereka yang tidak atau bahkan tidak mau berubah? Itu soal lain, saya ora urus.

Kesimpulannya

Poin utama dari pembahasan kita kali ini adalah belajar atau berproses dengan segala daya upaya kita untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan, yaitu berubah ke arah yang lebih baik. Jika, suatu hari masa lalu itu akan datang di hadapan kita, tentunya kita akan memanggil ingatan kita untuk membebaskan belenggu itu dalam pikiran kita hingga terbebas.

Saya memiliki asumsi bahwa orang-orang yang terjebak dengan masa lalunya adalah orang-orang bodoh. Ia tidak bisa mengentaskan dirinya sendiri dari kubangan kotor seolah ia betah di tanah lumpurnya itu. Ya, mirip seekor babi yang terus-menerus berguling-guling di lumpur kotor.

Selain itu, tidak jarang orang bodoh seringkali blunder dengan omongannya sendiri. Maka, kalian pun sadar banyak orang-orang di sekeliling kita yang tahu sedikit akan suatu hal bisa berjam-jam membicarakannya sampai mulutnya keluar busa.

Saya mengamini betul dengan ungkapan Inggris yang kira-kira bunyinya begini,

“Orang bodoh memiliki lidah yang panjang untuk mencekik lehernya sendiri.”

Ya, kita sering menemuinya di sekitar kita. Ia pandai mengulur-ulur kata-kata pada akhirnya membelit lehernya sampai ia tidak bisa berkata-kata lagi.

Sebenarnya, dalam konteks ini orang bodoh adalah orang yang terjebak dengan masa lalunya dan mengganggap masa lalu itu buruk dan membandingkannya dengan masa sekarang. Begitu.

Syamsul Bahri seorang guru bahasa inggris di Yogyakarta. Selain kesibukannya menjadi guru, ia juga kadang-kadang menulis, esai, cerpen, puisi resensi dan hal lainnya yang sia-sia. Bisa disapa lewat Instagram: @dandelion_1922

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!