Kalau Kecemasan adalah Warisan, Kita Kelola Aja Gimana?

Ayu, mahasiswi semester akhir jurusan Ekonomi, malam itu duduk menatap layar laptopnya. Deretan angka dan grafik seolah menertawakannya. Beban skripsi tak seberapa dibanding beban pikiran tentang masa depan.

Bukan harapan muluk-muluk, tapi pertanyaan-pertanyaan yang berputar tanpa henti seperti,

“Kalau lulus nanti gimana ya aku hidup? Apa yang mesti kupelajari buat survive? Siapa yang harus kukenal biar jadi orang sukses?”

Dari balik jendela kamarnya yang sempit, terdengar riuh suara pembeli di toko kelontong milik keluarganya di lantai bawah. Aroma sabun dan minyak goreng sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Ayah dan ibunya bekerja keras dari subuh sampai malam, demi menopang biaya kuliah Ayu dan adik-adiknya.

Meja makan di rumah mereka tak pernah sepi. Seringkali, percakapan tentang masa depan dibarengi dengan desah napas panjang.

“Nak, kamu harus sukses ya,” kata Ibu sambil menguleni adonan bakwan di ember, “…biar nggak kayak Ibu sama Bapak.” Kenyataan ini, alih-alih memotivasi, justru seringkali menekan Ayu.

Ia merasa harus menjadi “seseorang” yang jauh lebih sukses dari orang tuanya, seolah ia adalah satu-satunya harapan untuk mengubah nasib keluarga. Pikiran itu memberat, memicu kecemasan akut yang seringkali bikin begadang sampai pagi buta, sampai merasa terjebak dalam pusaran pertanyaan tanpa jawaban.

Suatu sore, dalam diskusi kelompok mata kuliah Ekonomi Pembangunan tentang resesi, dosen meminta membentuk kelompok beranggotakan enam orang untuk presentasi membahas Bab 3 buku Ekonomi Pembangunan minggu depan, dengan durasi 30 menit per kelompok.

Di awal, Ayu yang memang mudah cemas mulai kebingungan. “Bagaimana membagi tugas ini? Apa bagianku? Bisakah aku melakukannya sendiri?” Seperti biasa, pikirannya langsung melayang ke skenario terburuk: presentasi kacau, dan nilai D jadi ganjarannya.

Namun berbeda dengan kecemasan masa depannya yang tak berujung, kali ini ada batasannya. Materi tentang resesi jelas, babnya sudah ditentukan. Anggota kelompoknya pun jelas—ada Rani yang detail, Kevin yang jago riset, Sita yang jago desain presentasi, serta Budi dan Fajar yang langganan jadi MC di event jurusan. Ada pula batas waktu yang harus dipatuhi.

“Oke, guys, kita punya waktu seminggu,” kata Kevin memulai. “Babnya sudah dibagi, durasi per orang juga jelas. Ayo kita pecah jadi tugas-tugas kecil!”

Arah pikiran mereka tidak liar ke mana-mana. Mereka mulai memetakan tugas masing-masing sesuai kemampuan. Ayu yang biasanya pesimis kini fokus pada bagiannya: merangkum dampak resesi terhadap UMKM.

“Bayangkan ini seperti proyek ilmiah besar, tapi kita sudah punya blueprint-nya,” kata Sita optimis.

Mereka tahu persis siapa harus melakukan apa, dan tujuannya sangat jelas: presentasi sukses minggu depan.

Ayu melihat bagaimana setiap anggota tim menunjukkan kemampuan masing-masing, mengatur tempo kerja dengan efektif. Mereka seolah sudah melihat “rel kereta dan stasiun akhir” bahkan sebelum kereta berjalan. Mereka bekerja sama dengan sangat baik, saling melengkapi, memastikan bahwa “minggu depan” tidak akan menjadi mimpi buruk. Dalam prosesnya, kecemasan Ayu sedikit mereda. Ia menemukan bahwa jika sebuah tujuan dipecah menjadi tugas-tugas kecil yang jelas, maka ia tidak lagi merasa tersesat. Kecemasannya berubah menjadi kekhawatiran yang terukur, karena ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia sibuk mengerjakan, bukan membayangkan skenario terburuk.

Saat presentasi, Ayu merasa takjub. Proyek kelompok yang tadinya terasa berat kini diselesaikan dengan mulus. Nilai yang mereka dapatkan sangat memuaskan. “Lihat, Ayu,” kata Rani setelah presentasi, “masa depan itu bukan diharapkan, tapi diusahakan. Kita tahu apa yang harus kita lakukan, dan kita lakukan.”

Kevin menimpali, “Dan masa depan itu bukan ditunggu, tapi dirakit. Kita menyatukan bagian-bagian kecil, kemampuan yang berbeda, untuk membuat sesuatu yang utuh.”

Ayu teringat slogan Samsung yang pernah ia lihat di iklan: “The future is now.”

Ia menyadari bahwa tindakan konkret yang mereka lakukan hari ini, momen ini, adalah apa yang membentuk “masa depan” mereka.

Menjadi Nahkoda atau Penumpang?

Momen kerja kelompok itu membuat Ayu merenung. Lantas, bagaimana jika tidak ada yang memberi tugas? Atau memberi arah ke mana harus melangkah? Siapa timnya? Berapa lama waktunya? Pertanyaan-pertanyaan itu kembali, namun kali ini tidak lagi disertai kepanikan, melainkan dengan semangat untuk mencari jawaban.

Pikiran Ayu mulai bercabang. Pertama, ada orang-orang yang nyaman hidup dalam kestabilan di bawah arahan orang lain. Mereka seperti mahasiswa yang 100% mengikuti arahan dosen, atau karyawan yang percaya bahwa arah hidupnya selaras dengan laju tempatnya bekerja. Ini adalah jalan yang lebih “aman”, minim ketidakpastian. Mereka adalah penumpang yang nyaman di dalam kapal yang dinakhodai orang lain.

Kedua, ada yang memilih menjadi pencipta, menjadi director. Ini berarti menentukan sendiri keinginan, tujuan, tugas, dan dampak yang ingin dicapai di dunia. Jalan ini memang lebih sulit, penuh ketidakpastian dan tantangan yang tak terlihat. Namun, bukan berarti tidak mungkin. Analogi kerja kelompok tadi adalah cara paling mudah untuk memulai. Jika dosen saja punya gambaran tujuan besar dan jelas, yang dipecah menjadi tujuan-tujuan kecil agar pola kerja, usaha, dan motivasi tetap terjaga, mengapa ia tidak bisa?

Ayu menyadari satu hal: usahakan bekerja dan berkarya sebaik mungkin hingga orang lain bisa melihat hasil kerja dan karyamu sebagai inspirasi. Jika ia mampu membuat tujuannya jadi jelas, memvisualisasikannya, menceritakannya, dan memecahnya jadi tahap-tahap yang bisa dilakukan dari hari ke hari, maka kadar kecemasannya akan terus menurun. Ia akan sibuk melakukan yang seharusnya dilakukan untuk mencapainya, dan kecemasan akan menyusut menjadi kekhawatiran kecil karena tugas yang dijalankan terarah—bukan hanyut dalam ketidaktahuan arah.

Sejak saat itu, Ayu mulai merakit masa depannya. Ia mulai dengan pertanyaan-pertanyaan spesifik: Skill apa yang harus kuasai untuk bisa membantu UMKM seperti toko kelontong Ayah dan Ibu jadi lebih besar? Siapa yang harus kukenal di dunia e-commerce? Perubahan apa yang kuinginkan terjadi di lingkungan tempat tinggalku? Ia mulai mencari mentor, mengikuti workshop tentang digital marketing, dan bahkan membuat jadwal mingguan untuk “proyek masa depannya.”

Perubahan dalam diri Ayu ini dapat dijelaskan melalui beberapa landasan teori psikologi yang membahas tentang future anxiety (kecemasan akan masa depan).

Teori Kecemasan Eksistensial – Rollo May

May berpendapat bahwa kecemasan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia. Kecemasan ini muncul dari kesadaran bahwa kita punya kebebasan untuk memilih, dan tanggung jawab atas pilihan tersebut. Bagi Ayu, kecemasan awalnya begitu mengganggu karena ia merasa harus membuat pilihan besar untuk masa depannya, dan ada beban tanggung jawab yang besar sebagai harapan keluarga.

Future anxiety yang dialaminya mencerminkan konflik eksistensial antara keinginan untuk memiliki kontrol penuh atas masa depan, dan realitas bahwa masa depan tidak sepenuhnya bisa diprediksi kecuali sama Alloh (kalau kamu percaya, henteu ge bae) Namun, ketika Ayu mulai menerima bahwa ia memiliki kebebasan untuk merakit masa depannya sendiri, kecemasan itu berubah menjadi dorongan.

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) – Aaron T. Beck

CBT menjelaskan bahwa pikiran negatif otomatis mengenai masa depan dapat menyebabkan kecemasan. Kecemasan ini adalah hasil dari distorsi kognitif, seperti catastrophizing—membesar-besarkan kemungkinan terburuk. Ayu sering terjebak dalam pikiran seperti,

“Bagaimana jika aku gagal dan mengecewakan orang tuaku?” atau “Bagaimana jika semua usahaku sia-sia dan aku tetap di posisi ini?”

Menurut CBT, kecemasan Ayu dapat direduksi dengan mengidentifikasi pola pikir irasional ini dan mengubahnya menjadi pikiran yang lebih realistis dan positif melalui cognitive restructuring. Ketika Ayu mulai fokus pada langkah konkret dan menyadari bahwa ia mampu menyelesaikan tugas, pikiran negatif otomatisnya pun berkurang drastis.

Intolerance of Uncertainty (IU) – Carleton et al. (2007)

Teori ini menyatakan bahwa individu dengan toleransi rendah terhadap ketidakpastian lebih rentan terhadap kecemasan. Jika seseorang sulit menerima bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan, ia akan lebih mudah cemas dan cenderung mengalami overthinking serta avoidant behavior. Future anxiety Ayu sangat erat kaitannya dengan rendahnya toleransi ini, yang menyebabkan ia sering menunda hal-hal yang berkaitan dengan masa depannya karena takut salah.

Ketika Ayu mulai memecah tujuan besarnya menjadi tugas-tugas kecil yang lebih pasti dan bisa diukur, ia secara tidak langsung melatih dirinya untuk meningkatkan toleransinya terhadap ketidakpastian. Ia jadi lebih berani mengambil langkah tanpa harus tahu seluruh jawaban.

Teori Self-Determination – Deci & Ryan

Teori ini menekankan bahwa kecemasan berkurang ketika individu merasa memiliki kontrol dan arah dalam hidupnya. Kecemasan akan masa depan sering terjadi ketika kebutuhan dasar akan otonomi (merasa bebas membuat pilihan dan mengarahkan diri), kompetensi (merasa mampu melakukan sesuatu dan berhasil), dan keterhubungan (relatedness, merasa terhubung dan didukung oleh orang lain) tidak terpenuhi.

Saat Ayu aktif merencanakan masa depannya, mengambil alih kendali, dan bekerja sama dalam tim, ia merasakan peningkatan otonomi dan kompetensinya. Interaksi positif dalam tim juga memenuhi kebutuhan keterhubungannya. Ini secara langsung mengurangi tingkat kecemasannya.

Pada akhirnya, Ayu—seperti kita semua—memahami bahwa kecemasan akan masa depan adalah respons psikologis yang kompleks terhadap ketidakpastian. Namun, itu juga adalah sinyal dari jiwanya yang merindukan arah, makna, dan kepastian.

Dengan pendekatan yang tepat—memecah tujuan besar, mengambil tindakan konkret layaknya mengerjakan sebuah proyek kelompok, dan memahami akar psikologis kecemasannya—Ayu berhasil mengubah rasa takutnya menjadi dorongan kuat untuk bertumbuh.

Ia memang belum tahu persis apa yang akan terjadi esok, tapi ia tahu, ia sedang merakitnya. Hari demi hari. Sepotong demi sepotong. Kalau gagal, ya tinggal coba lagi saja. Rakit lagi. Namanya juga hidup~

Konselor, aktor, terapis, enterpreneurship, dan berpuisi. Sedang merakit akun jasa konseling dan terapis psikologi di temendeket.co sejak 2024, menjadi pelatih basic acting di Teater Topeng Maranatha sejak 2019 - 2023, Menjalankan bisnis es kopi dengan merk gustaandco sejak 2015, Malam Puisi Cikampek juga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!