
Pada umunya orang yang sudah berkeluarga pasti mengharapkan terciptanya keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga. Namun, pada kenyataannya semua tidak sesuai dengan harapan semula. Berbagai permasalahan kerap sekali mewarnai rumah tangga. Bahkan suatu hal remeh-temeh akan menjadi pemicu permasalahan besar dalam rumah tangga. Se-simple beda pendapat, berdebat karena beda pilihan capres, atau saling ejek.
No offense, agama seringkali dijadikan kambing hitam untuk membenarkan suatu perkara, termasuk konsep nusyuz dalam Islam. Meskipun Islam telah mengatur nusyuz, terdapat berbagai hal yang merugikan salah satu pihak.
Selama ini nusyuz selalu dikaitkan dengan ketidakpatuhan istri kepada suami. Sehingga istri dalam hal ini selalu saja menjadi pihak yang dipersalahkan, seperti lagu:
Mengapa slalu aku yang mengalaaah, tak pernahkah kau berpikir, sedikit tentang hatiku~
Bahkan dalam kitab-kitab fiqh, persoalan nusyuz sering kali digambarkan sebagai status hukum yang ditujukan kepada perempuan (istri) dan untuk laki-laki (suami) diberi kewenangan atau beberapa hak untuk menyikapi nusyuz-nya istri tersebut. Demikian pula pandangan masyarakat Indonesia mengenai bias perempuan telah mengakar kuat. Budaya dan ideologi patriarki telah melegitimasi berbagai aspek kehidupan.
Padahal, sama seperti laki-laki dan manusia pada umumnya, perempuan juga punya peranan yang gak kalah penting dalam kehidupan, tapi perempuan selalu saja dianggap sebelah mata oleh kebanyakan masyarakat.
Banyak sekali permasalahan serius yang dihadapi oleh perempuan, di antaranya: kekerasan terhadap perempuan, beban ganda, marjinalisasi, subordinasi, dan stereotipe. Penindasan terhadap perempuan ini akan terus berlangsung selama tidak ada upaya dan kesadaran untuk merubah budaya patriarki (Lukmanulhakim, 2023).
Oleh sebab itu perilaku nusyuz ini perlu untuk direkonstruksi ulang karena dipandang telah menimbukan ketidakadilan hukum bagi perempuan. Sebab dalam struktur keluarga kini tidak bisa dianggap sebagai subordinasi laki-laki. Lagian zaman sudah berubah, dan posisi perempuan dalam realitas sosial sekarang berbeda dengan kondisi perempuan zaman dahulu.
Konsep dan Definisi Nusyuz
Secara bahasa nusyuz berasal dari kata “nasyaya-yansyuszunasyan wa nusyuzan” yang berarti durhaka, menentang, menonjol, meninggi, dan berbuat kasar. Menurut para ahli fiqh seperti Hanafiyah, nusyuz ini bisa dibilang hubungan yang tidak bahagia antara suami dan istri.
Sementara itu, ulama Malikiyah menjelaskan bahwa nusyuz merupakan hubungan yang tidak baik antara suami dan istri sehingga menimbulkan permusuhan.
Dalam pandangan Syafi’iyyah, nusyuz merupakan hubungan yang tidak akur atau perselisihan antara suami dan istri.
Sedangkan ulama maszhab Hambaliyah mengartikan nusyuz sebagai hubungan yang tidak harmonis antara suami dan istri sehingga menyebabkan konflik antar keduanya (Shaleh, 1993: 26, dalam Ayu dkk, 2021).
Intinya, pandangan para ulama ini gak jauh berbeda dan punya core yang sama.
Adapun bentuk-bentuk tindakan istri yang dapat dikategorikan nusyuz antara lain: istri membangkang, tidak mematuhi ajajan atau perintah suami, menolak berhubungan badan tanpa alasan jelas dan keluar rumah tanpa izin suami (Syaid Sabiq, 2006 dalam Analiansyah dan Nur Zakia, 2019).
Seperti yang dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 34:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَcهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا ٣٤
Artinya : Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. al-Nisa’ : 34).
Apabila kita melihat dari beberapa pernyataan ulama di atas, tentunya kedudukan seorang istri rentan sekali sebagai pihak yang disalahkan. Dalam berbagai kesempatan istri tidak dapat melakukan pembelaan diri, apalagi mengoreksi tindakan suaminya.
Demikian juga konsep nusyuz di atas tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat sekarang, misalnya apabila seorang istri keluar dari rumah maka dianggap nusyuz. Padahal, sudah ada teknologi canggih yang dinamakan Whatsapp. Lagipula, dengan peranan perempuan yang tidak hanya berperan pada ranah domestik (rumah tangga) tetapi juga memiliki peranan dalam ruang publik, keluar-masuk rumah bukan sesuatu yang perlu diribetin.
Aktualisasi Konsep Nusyuz Kontemporer dalam Keadilan Gender
Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan, laki-laki, atau apapun manusia. Dengan adanya keadilan gender berarti gak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan, laki-laki, atau yang lain.
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, harus hilang diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian laki-laki maupun perempuan dapat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan (Elmawati Falabiba, 2019).
Dalam ruang lingkup rumah tangga ketidakadilan gender dapat terjadi dari relasi gender yang tidak seimbang dan merugikan salah satu pihak sehingga mengganggu kehidupan keluarga karena terdapat bias gender di dalamnya. Dampak negatif dari bias gender pada umumnya merugikan kaum perempuan dan anak-anak seperti aktivitas trafficking dan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga (Wahyu Ningsih, 2020).
Pada konteks nusyuz, yang sering jadi bahasan dalam kajian gender adalah pemukulan dalam praktik yang dianggap nusyuz istri. Para ulama klasik sering kali melegitimasi tindakan fisik suami terhadap istri, sebab dianggap sesuai dengan tafsir literal An-Nisa ayat 34. Tentu saja hal-hal semacam ini berisiko melanggengkan pembenaran terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan dalih melakukan pembinaan terhadap istri.
Namun, pada dasarnya Alquran pernah memuat anjuran untuk menyelesaikan perkara nusyuz dengan pemukulan. Akan tetapi, muncul perbedaan penafsiran mengenai hal ini. Misalnya, menurut Ahmed Ali yang merujuk pada kitab Raghib al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, serta sebagaimana dikutip oleh pemikir feminis Asghar Ali Engineer, kata “dharaba” dalam Surah An-Nisa ayat 34 dipahami secara metaforis sebagai perintah untuk bersenggama (Mughniatul Ilma, 2019).
Jika dikontekstualisasikan pada masa sekarang, dua langkah pertama dalam penyelesaian nusyuz yakni menasihati dan berpisah ranjang masih dapat dibenarkan, tapi untuk Langkah terakhir yaitu pemukulan, tentu saja wajib dilakukan pemaknaan ulang. Kalau enggak, ya akibatnya banyak tindakan kekerasan terhadap istri yang seenak jidat dibenarkan.
Adapun beberapa pendapat dari ulama kontemporer yang memiliki pandangan yang berbeda dengan ulama-ulama terdahulu. Misal, Amina Wadud menyatakan bahwa pemukulan bukan cara terbaik untuk masalah, pemukulan justru malah akan memperkeruh masalah. Pemukulan terhadap istri yang nusyuz membutuhkan telaah ulang sebagai cara untuk mengadakan damai dan memperbaiki hubungan.
Menurutnya, pada langkah kedua yang berupa terapi pisah ranjang adalah waktu untuk memikirkan mengenai keberlanjutan hubungan pernikahan. Dan apabila setelah itu pernikahan tidak dapat dilanjutkan maka lebih baik diakhiri dengan perceraian tanpa adanya perceraian sebagai langkah selanjutnya (Mughniatul Ilma, 2019).
Kesimpulan
Konsep nusyuz dalam Islam selama ini cenderung bias terhadap perempuan: istri sering diposisikan sebagai pihak yang salah dan suami diberikan kewenangan atasnya, termasuk legitimasi terhadap kekerasan. Hal ini diperkuat oleh budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat. Lagipula, suami juga bisa nusyuz, banyak malah.
Dalam konteks keadilan gender, pendekatan terhadap nusyuz perlu dikaji ulang secara kontekstual dan adil. Tafsir literal terhadap ayat-ayat seperti An-Nisa’ ayat 34 telah menimbulkan justifikasi terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Oleh karena itu, diperlukan reinterpretasi terhadap makna nusyuz agar tidak lagi merugikan perempuan, serta mendorong relasi yang setara, dan adil dalam rumah tangga sesuai perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
Lukmanulhakim “Nusyuz dalam Perspektif Keadilan Gender” (Studi Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam) ta,” AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam VIII, no. I (2023): Hlm. 1–19.
Ayu, Rizqa Febry, and Rizki Pangestu. “Modernitas Nusyuz; Antara Hak Dan Kewajiban.” YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 12, no. 1 (2021): Hlm. 73-91.
Analiansyah dan Nurzakia. “Konstruksi Makna Nusyuz Dalam Masyarakat Aceh dan Dampaknya Terhadap Perilaku Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Kecamatan Ingin Jaya).” Gender Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies. Vol. 1, No. 2, September 2015 | 141 1, no. 2 (2015): Hlm. 141–160.
Ninla Elmawati Falabiba. “Konsep Dasar Gender.” Kesetaraan Gender & Posisinya, 2019, 12–71. http://repository.uin-suska.ac.id/20488/7/7. 2018205TMPI_BAB II.pdf. diakses pada tgl. 21/05/2025 pukul 6:51 wib.
Diah Wahyu Ningsih. “Analisis Keadilan Gender Terhadap Nusyuz Suami (Studi Kasus Di Desa Taman Sari, Kecamatan Gunungsari Lombok Barat)” Vol. 15, no. 2 (2020): Hlm. 1–103.
Mughniatul Ilma. “Kontekstualisasi Konsep Nusyuz di Indonesia.” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo Vol. 30, No. 01 (2019).
Mahasiswa yang pengen slow living.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.