Jim mendapati hantu yang muncul mulu dan mengganggu.
Yang Aku Ceritakan tentang Jim

“Jim menyeret kursi itu ke pojok lorong lantai tiga. Lalu ia berdiri di kursi itu dan seperti akan melangkah ke pagar pembatas. Aku gak tahu apa yang akan ia lakukan. Aku hanya berpikir untuk menarik tangan Jim agar turun dari kursi itu. Namun, ketika Jim turun dari kursi ia malah menangis dan sesak napas, Pak,” kata salah satu kawan sekelasnya.
Tubuhnya gemetar saat menceritakan peristiwa itu kepadaku keesokan harinya. Sebab pada hari ketika peristiwa itu terjadi, kebetulan aku sedang tidak berada di sekolah.
Sebentar lagi aku ada jam mengajar, jadi akan aku ceritakan seringkas mungkin. Kalau mau boker atau pipis mending dari sekarang sebelum aku memulai ceritanya. Menyebalkan rasanya jika ceritaku terhenti di tengah jalan.
Baik, apakah sudah bisa dimulai?
Anak yang mau loncat dari lantai tiga itu bernama Jamilah, tetapi murid-murid kala itu lebih akrab memanggilnya Jim.
Ketika Jim duduk di kelas sepuluh, aku merasa tidak ada yang aneh pada gelagat Jim. Ia berbaur seperti biasa dengan teman-temannya. Aku ingat betul ketika aku mengajar mata pelajaran IPS ia termasuk anak yang bukan main pintarnya. Apakah aku harus memberikan buktinya?
Baik. Kalau begitu aku lanjutkan dulu.
Aku ditunjuk sebagai wali kelas Jim ketika ia duduk di kelas sebelas dan, ya, begitu, lah. Pada awalnya semua berjalan seperti biasa. Senakal-nakalnya anak di kelasku paling cuma saling ejek nama orang tua, bolos kelas, atau lempar-lemparan upil waktu pelajaran sudah dimulai. Aku bersyukur akan hal itu.
Kamu masih ingat, waktu itu sempat ada tren self-harm? Iya benar. Mereka, murid-murid perempuanku, dengan senang hati menyayat-nyayat pergelangan tangan menggunakan benda tajam.
Iya, kamu memang tidak melakukannya, namun Jim adalah salah satunya.
Akhirnya, sejak hari itu aku mulai mengajak anak-anak di kelasku untuk mengobrol secara private supaya aku tahu duduk perkaranya. Wajar, bukan?
Tidak semua jujur dan terbuka memang. Aku sudah tahu dari gelagat beberapa anak. Mereka ragu untuk berterus terang atau mungkin berbohong. Tapi, bagiku itu bukan masalah.
Aku tidak ingin membahas yang lain dulu. Jadi, tolong perhatikan baik-baik.
Aku bersyukur karena beberapa anak tidak mengulangi perilaku aneh tersebut setelah aku memberikan semacam arahan. Tetapi, tidak dengan si Jim. Pada hari-hari berikutnya ia masih melakukannya. Waktu itu kamu yang memberitahuku. Ia lebih sering termenung sendirian daripada berbaur dengan teman-temannya.
Dan kamu juga tahu penyebabnya, kan? Itu pula yang Jim katakan kepadaku. Memang apalagi selain itu?
Supaya Jim tidak menjadi anak yang pemurung aku menyarankan agar ia meluapkan emosinya kepada sebuah catatan atau gambar atau kegiatan apa saja yang bisa membuatnya tenang—atau setidaknya lupa sejenak. Jim tidak menolak walau pun pada awalnya merasa keberatan jika harus memberikan hasilnya setiap hari.
Jim saat itu memilih membuat catatan-catatan pada sebuah buku khusus lalu akan memperlihatkannya kepadaku secara berkala. Kamu sudah membaca buku itu, kan, sebelumnya?
Aduh, aku kira kamu sudah membacanya. Aku bingung bagaimana menjelaskannya. Intinya semua catatan yang Jim berikan kepadaku selalu berkaitan dengan kematian. Aku menyadari hal itu ketika membacanya berulang-ulang. Misalnya kurang lebih seperti yang ini:
Malam hari menjelang, ayam-ayam mulai masuk ke kandang. Induk mengerami telur-telur, sang jantan bertengger, termangu menatap kekosongan. Namun, ada satu ekor ayam berwarna kelabu memilih terbang meski sayapnya bukan sayap seekor merpati. Ia bersusah payah mengepakan sayapnya sebelum mati tergantung lalu dihanyutkan ke sebuah telaga oleh sang pemilik
Orang yang membaca catatan itu pasti akan mengira itu hanya sebuah keisengan yang dibuat-buat oleh seorang bocah. Tetapi, aku ingin mengesampingkan itu dahulu. Semakin hari catatannya semakin mengerikan.
Kamu boleh percaya atau tidak kondisi Jim mulai membaik berkat catatan-catatan yang ia perlihatkan kepadaku. Setidaknya itu yang aku lihat pada beberapa kesempatan ketika ia berada di sekolah. Perlahan kami, baik Jim atau pun aku, mulai melupakan catatan itu.
Aku lupa tepatnya kapan, jika ingatanku tidak keliru, itu pada akhir semester genap kelas sebelas, ketika Jim pertama kali menjerit-jerit kesakitan dan sesak napas. Kamu boleh menduga Jim kemasukan dedemit atau kuda lumping, tetapi yang jelas setelah Jim sadar ia bilang kepadaku ada anak perempuan di sekolah yang selalu mengejek dirinya. Tetapi, Jim tidak pernah menyebut namanya, ia hanya menuturkan beberapa ciri-ciri anak itu: cantik, tinggi, pintar dan populer.
Kamu tahu itu siapa?
Aku juga tidak tahu. Ciri-ciri yang Jim sebutkan terlalu umum. Sulit rasanya mencari anak yang Jim maksud meski pun seluruh anak di sini jumlahnya kurang dari seratus siswa. Tetap saja sulit. Begini misalnya: Laras memang terkenal sebagai siswi yang cantik oleh guru-guru tetapi nilainya biasa saja, Devi memang populer tetapi ia bukan siswi yang postur tubuhnya tinggi atau mungkin perempuan berpostur tinggi dan populer bernama Nok tetapi seingatku ia populer karena juara karate tingkat provinsi. Kamu mengerti maksudku, kan?
Jim berubah. Anak murung itu berubah menjadi anak yang malas datang ke sekolah, hari-harinya seperti penuh ketakutan dan belakangan menjadi siswi sangat mudah tersinggung oleh perkataan orang lain. Pada hari-hari berikutnya luka-luka di tangannya semakin dalam dan legam.
“Mengapa kamu melakukan hal yang konyol seperti itu?” tanyaku kepada Jim soal kejadian yang temannya ceritakan.
“Membunuh atau dibunuh.” Jawabnya seperti menggertak. Matanya mendelik.
“Dua-duanya bukan pilihan yang baik.”
“Tetapi orang itu yang berbisik seperti itu kepadaku.”
“Siapa?” aku benar-benar penasaran.
Jim tidak langsung menjawab. Jim hanya menunduk sambil menarik-narik ujung seragamnya.
“Sejak anak itu berbisik kepadaku,” ia bersuara lagi, “Aku ingin mengakhiri hidupku. Tetapi, tidak pernah berhasil. Aku ingin berbalik melenyapkannya, tetapi perempuan itu dilindungi. Aku hanya mendapatkan rasa takut. Aku tidak akan pernah berhasil,” tandasnya.
Kamu mengerti, kan, maksudku?
Dugaanmu benar. Jim mengakui tidak hanya melakukan percobaan itu sekali. Mungkin berkali-kali selama orang-orang sedang tidak berada di sampingnya. Aku khawatir cepat atau lambat Jim benar-benar berani melakukan itu.
“Apakah perempuan itu sekarang ada di sekolah?” aku bertanya kepada Jim, memastikan apakah perempuan itu benar-benar ada di sekolah ini.
“Ada. Sebelum aku bertemu bapak ia sempat bilang kepadaku jangan memberi tahu siapa-siapa.”
“Kalau kamu bilang kepadaku apa yang akan terjadi?”
Jim mengatakan sesuatu yang sangat pelan sehingga aku harus menunduk terlebih dahulu dan meminta untuk mengulang perkataannya.
“Nyawa bapak akan terancam,” kata Jim yang masih menunduk.
Aduh, perasaanku jadi tidak enak begini.
Pokoknya atas kejadian itu aku memberi tahu orang tuanya lalu mereka mendesak kepadaku—atau lebih tepatnya kepada kepala sekolah—agar perempuan yang Jim maksud harus segera ditindak. Tetapi, mau bagaimana lagi. Aku tidak tahu begitu pun guru-guru yang ada di sekolah ini.
Kamu tidak usah repot-repot mengatakan ia butuh seorang psikolog, psikiater atau orang pintar atau apalah, karena orang tua khawatir pasti akan membawanya ke arah sana.
Pada kenaikan kelas dua belas Jim tidak melanjutkan sekolahnya di sini mau pun di sekolah lain. Ia memilih untuk home schooling. Barangkali ia lebih aman di rumahnya.
Terakhir kali aku berkabar dengannya mungkin sekitar dua atau tiga tahun yang lalu, itu pun atas permintaan ibunya karena Jim kabur dari rumah. Anak itu memang sulit ditebak.
Hanya itu yang bisa aku ceritakan kepadamu. Aku sudah telat masuk ke kelas. Apa yang terjadi selanjutnya kamu sudah tahu langsung dari Jim, bukan?
Terima kasih atas perhatiannya. Aku hanya tidak menyangka Jim akan masuk liputan berita di televisi. Jarang sekali ada kasus soal seorang siswa yang membakar sekolahnya sendiri. Atau mungkin ini satu-satunya kasus yang terjadi.
Kalau kamu bertemu dengan Jim tolong sampaikan salamku kepadanya.
Leave a Comment