Traveling Silaturahmi yang Gak Bikin Stress

Gusta

Mudik bukan hanya pulang, tapi juga ujian mental.

“Besok mau bawa baju berapa banyak?” tanya istriku.

“Cuma dua malam, bawa secukupnya aja.” sahutku sambil tetap menonton Youtube Belajar Nge-Rap dari Nol di TV kami,

“Eh, gimana?” ucapnya lagi seolah gak dengar jawabanku.

Buru–buru kulempar pandanganku dari TV ke arahnya, yang lagi melotot sambil duduk di depan koper.

“Yang mana?! Ini aku lagi beresin bajuku, coba kamu ambil baju yang mau kamu bawa ke sini biar sekalian!”

Lho, “Kirain udah diambilin,” ucapku yang tentu saja dalam hati. Pada istriku yang cantik itu mana berani aku melawannya.

Aku lantas berjalan ke arah lemari pakaian untuk memilih baju paling nyaman. Namun tentu za tahun ini rasanya lebih mudah karena kami cuma beli sepasang baju bedug. Sisanya ya tinggal ambil pakaian yang paling sering aku pakai sehari-hari, dan gak lupa baju koko yang cuma kupakai pas jumatan doang itu.

Kuangkat satu per satu pakaian tumpukan kaos dan sebagai anak skena, kutarik satu kaos hitam. Aku tarik lagi satu kemeja putih bergaris garis merah muda, baju koko, dan tidak lupa celana jeans panjang, celana pendek, juga corduroy panjang berwarna kayu,

Liat nih cepat kan aku nyiapin bajunya, yeuuu kamu bawel mulu. Aku dong, 2 menit. Selesai!” kataku dengan senyuman lebar berbangga diri. Saking bangganya, bunyinya pun menjadi “Ini yang harus dibawa.” di telinga istriku.

Aku kemudian lanjut duduk di depan TV. Dia masih melotot sambil memegang bajuku

“Ai kamu ga akan bawa kolor?!”

“Eh iya lupa.” aku mengambil lagi segala yang diperlukan. Aku mengikuti gerutuannya.

Setelah selesai kali ini giliranku yang melotot sambil nongkrong di depannya, “Udah semua kan, ya?” “Iya udah.”

Lalu kami berdua duduk di depan TV, nonton Netflix sampai ketiduran.

(Lagu Tuan13 – Move berbunyi dari hapeku, berisik sekali)

“By itu angkat hape kamu berisik banget dah daritadi!” kata Istriku mengalahkan suara ponselku.

Dengan mata separo melek, tanganku meraba-raba kasur.

Enya. Halo Pak?”

Jam baraha ieu? Cenah rek marangkat jam 8 lain?”

“Eh”

Bola mataku langsung membesar seukuran biji salak, kujauhkan telepon dari telinga. Ada angka 8.48 AM

Ya Allah karak hudang pak hampura ieu langsung mandi terus mangkat.”

Kabisaan pisan budak teh, disuruh hudang isuk kalah gadang wae

Enya siap salah, ieu rek mandi tutup heula, nya

9.20 AM mobil sudah di Kopo menuju pintu tol Ciganea ke arah Cianjur, berisikan 3 orang termasuk adikku. Bawaannya lumayan lah satu buah koper dan 6 kardus titipan bapak.

Sambil ngetap E-toll di pintu Ciganea, pikiranku mulai melayang.

Aku tahu bagi ayahku yang seorang perantau, mudik adalah menghubungkan diri dengan akar identitasnya dan bakti pada ibunya, tapi tidak bagiku. Soalnya apa? Begini:

Kalau mudik itu pulang ke rumah orang tua, maka harusnya aku mudik ke Cikampek, ke rumah orang tuaku yang cuma berjarak 10 menit jalan kaki dari rumahku. Perbedaan ini bikin aku jadi terpikir ternyata bagi sebagian orang perjalanan mudik ini justru malah jadi ujian mental yang bikin capek.

Setiap mudik kita harus siap dengan pertanyaan beracun yang mungkin kita sudah sama-sama hafal, “Kerja di mana sekarang?”

“Gajinya berapa?”

“Kapan kawin?”

“Mana momongannya?”

“Kuliah di mana?”

“Kapan lulus?”

Bagi yang merasa hidupnya belum sesuai dengan harapan keluarga, pertanyaan-pertanyaan ini malah jadi hal menakutkan yang ngebebanin mental. Dalam psikologi, fenomena ini disebut Social Comparison Theory, yaitu sebuah kondisi seseorang cenderung menilai hidupnya dengan membandingkan diri mereka dengan orang lain.

Memasuki musim mudik, perbandingan ini naik ke permukaan dan gak heran bagi beberapa orang, mudik adalah mimpi buruk saat berkumpul dengan keluarga besar. Belum lagi jika ada konflik lama yang belum selesai antara anggota keluarga.

Beda pandangan pekerjaan ideal, gaya hidup, standar kesuksesan, atau bahkan perbedaan pandangan politik bisa memicu ketegangan, yang akhirnya bikin waktu kumpul bersama keluarga justru malah menjadi ajang pembuktian diri, bukan sekadar silaturahmi.

Jangan lupa ada kemacetan ekstrem, kelelahan perjalanan jarak jauh, ketidakpastian waktu tempuh (bagiku sampai 8 jam nonstop nyetir yang kalau macet bisa sampai 10 jam) membuat kita lebih cepat terpancing kemarahanan, kekecewaan, dan mudik jadi menggerutu terus.

Kondisi ini bisa dijelaskan melalui teori stress yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman (1984) yang bilang kalau stres muncul ketika individu merasa tuntutan yang dihadapi lebih besar daripada sumber daya yang dimiliki, juga ketika individu mau tidak mau harus menghadapi situasi di luar kendali.

Yang pada akhirnya melahirkan kelelahan emosional dan fisik sebelum benar-benar sampai di kampung halaman. Kalau tidak dikelola dengan baik, stres bisa memengaruhi mood dan kesehatan fisik secara keseluruhan.

Maka lahir pertanyaan, “Lantas adakah cara agar mudik tetap terasa menyenangkan?” dari sudut pandang psikologi ada beberapa tips and trick yang bisa dilakukan untuk mengatasinya :

  • Kelola Ekspektasi dengan Realistis
    Tidak perlu membebani diri sendiri dengan ekspektasi yang terlalu tinggi. Ingat bahwa tujuan utama mudik adalah bersilaturahmi dan menikmati waktu bersama keluarga, bukan ajang pembuktian diri.
  • Atur Kesehatan Mental dan Fisik Sebelum Berangkat
    Pastikan tidur yang cukup sebelum perjalanan, atur jadwal keberangkatan agar tidak terburu-buru, dan siapkan mental untuk menghadapi berbagai situasi yang mungkin terjadi.
  • Gunakan Teknik Relaksasi Selama Perjalanan
    Jika terjebak macet atau merasa cemas, cobalah teknik pernapasan 4-7-8 (tarik napas selama 4 detik, tahan selama 7 detik, dan buang napas perlahan selama 8 detik). Teknik ini membantu menenangkan sistem saraf dan mengurangi stres.
  • Hadapi Tekanan Sosial dengan Komunikasi Asertif
    Jika mendapat pertanyaan yang tidak nyaman, jawablah dengan santai dan tegas. Tidak perlu merasa wajib memberikan jawaban panjang atau menjelaskan kehidupan pribadi secara mendetail da kamu teh lain presiden.
  • Luangkan Waktu untuk Diri Sendiri
    Jika merasa lelah dengan interaksi sosial yang terlalu intens, tidak ada salahnya mengambil jeda sejenak. Berjalan-jalan sebentar di sekitar rumah atau sekadar menikmati udara segar bisa membantu mengurangi ketegangan.

Tips and trick ini secara pribadi berhasil membantuku untuk mengatasi rasa tidak menyenangkan dari stres yang kualami selama mudik, yang harus dilakukan setiap tahun, membuatku benar-benar menikmati prosesi silaturahmi yang memang menjadi esensi dari mudik.

Ya sebetulnya mau ke manapun kamu, mudik atau nongkrong sama teman semoga cara ini membantu kamu ya.

Konselor, aktor, terapis, enterpreneurship, dan berpuisi. Sedang merakit akun jasa konseling dan terapis psikologi di temendeket.co sejak 2024, menjadi pelatih basic acting di Teater Topeng Maranatha sejak 2019 - 2023, Menjalankan bisnis es kopi dengan merk gustaandco sejak 2015, Malam Puisi Cikampek juga.

Related Post

No comments

Leave a Comment