Kalau kita cermati, viralitas bukan hanya mengangkat subjek baru menjadi objek perbincangan dengan segala rasa, tetapi juga menarik kembali objek yang sudah ada sejak lama. Misalnya, dalam kasus Gus Javar, seorang tokoh nyentrik dari Pasuruan yang konon dipercaya sebagai Wali Majdub, istilah yang merujuk pada mereka yang tenggelam dalam lautan cinta kepada Tuhan.
Dengan outfit khas, motor RWB yang dipasangi kipas, rambut berantakan, celana pendek tanpa baju, serta kabel USB melingkar di leher—ia bermanuver di jalanan kampung. Meliuk-liuk dengan gesit, lalu tiba-tiba berhenti secara acak, menciptakan momen yang menghibur warganet.
Memang ada pro dan kontra terkait status kewaliannya. Apalagi, dalam konteks spiritual, biarlah Tuhan saja yang Maha Mengetahui. Mungkin saja ada kebijaksanaan yang ia bawa, sebagaimana tokoh-tokoh yang dicap gila dalam buku Kebijaksanaan Orang Gila karangan Abu al-Qasim an-Naisaburi. Entahlah.
Kisah Gus Javar yang dipandang gila ini mengingatkan saya pada karya klasik abad ke-17 Spanyol, Don Quixote karangan Miguel de Cervantes. Tokoh fiksi yang satu ini menunggang kuda kurus sembari mengacungkan tombak kayu ke arah kincir angin yang ia yakini sebagai raksasa jahat.
Di dunia nyata, ada pula kisah Diogenes dari Sinope, salah satu filsuf Yunani Kuno yang hidup dalam tong—bahkan pernah berteriak pada Alexander Agung, “Menjauhlah, kau menghalangi sinar matahariku!”
Dua tokoh nyata dan satu tokoh fiksi dari realitas berbeda ini memiliki benang merah yang membentang dari nihilisme hingga transendensi spiritual. Ketiganya adalah kisah tentang manusia yang berani menggambar peta maknanya sendiri di tengah gurun absurditas.
Kegilaan sebagai Pemberontakan Menghantam Tembok Normalitas
Masyarakat kerap mengukur “kewarasan” dari seberapa patuh seseorang terhadap hierarki dan nilai yang disepakati. Tapi Gus Javar, Don Quixote, dan Diogenes adalah para penabuh genderang perang melawan konsensus ini.
Dengan rambut gondrong yang menantang kesalehan formal, Gus Javar menginjak-injak konsep “martabat” yang dibungkus jubah ulama atau titel akademik. Sementara itu, Don Quixote, lewat baju zirah berkarat dan topi baskom sebagai helm, menertawakan obsesi zamannya pada status kesatria yang sudah usang.
Diogenes bahkan lebih radikal: ia tidur di tong, makan di pasar sambil mengutuk sopan santun, dan menjawab pertanyaan filosofis dengan tindakan provokatif. Bahkan, ia berjalan membawa lentera di siang hari untuk “mencari manusia yang jujur.”
Dalam perspektif nihilisme radikal, penolakan mereka terhadap makna konvensional adalah cermin kesadaran bahwa semua struktur nilai—entah agama, gelar, atau kesatriaan—hanyalah bangunan rapuh yang suatu hari akan remuk. Tapi di sini muncul paradoks: jika segala makna adalah ilusi, bukankah pemberontakan mereka sendiri juga sia-sia?
Mungkin apa yang mereka lakukan bisa kita cocoklogikan dengan sarkasme Thomas More dalam Utopia. Dalam buku itu, dikisahkan para diplomat Flatulentine yang datang ke negara Utopia dengan dikawal seratus pengawal mengenakan pakaian warna-warni dari sutra. Mereka bangga dengan statusnya, mengenakan kalung emas, cincin, serta topi berhias mutiara.
Tapi apa yang mereka terima? Bukannya kekaguman, justru rasa jijik dan heran dari orang-orang Utopia yang terbiasa menghukum budak dan penjahat dengan mengalungkan rantai emas ke tubuh mereka.
Bagi orang Utopia, betapa konyolnya manusia yang menyukai batu perhiasan. Bukankah jauh lebih menyenangkan memandangi gemerlap bintang di langit daripada batu permata atau mutiara? Begitu pula dengan status sosial—bagi mereka, itu hanyalah imajinasi yang sarat dengan inferioritas dan keinginan untuk dihormati.
Dari kisah Utopia, kita disuguhkan pada suatu masyarakat ideal yang berpikir ulang tentang makna kekayaan, kemewahan, kebanggaan, dan status sosial.
Menari di Atas Ketiadaan
Jean-Paul Sartre mungkin akan tersenyum melihat ketiga tokoh ini. Di tengah dunia yang bisu tanpa makna bawaan, Gus Javar memilih menjadi “Wali Allah” dengan gaya hidup nyeleneh di lingkungan Muslim Abangan. Sementara itu, Don Quixote merajut identitasnya sebagai “penakluk kejahatan,” sedangkan Diogenes menjadikan dirinya sebagai “anjing” (cynic dalam bahasa Yunani) yang menggonggong pada kemunafikan.
Pada hakikatnya, mereka adalah manifesto berjalan dari kebebasan eksistensial. Sebab, manusia bukanlah apa-apa kecuali apa yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.
Kegilaan yang Memiliki Pengikut
Yang unik dari kisah ketiganya adalah mereka memiliki pengikut. Kita boleh saja menyangka para pengikutnya abai terhadap nasihat “don’t make stupid people famous.” Namun, apa mau dikata, mereka punya penerimaannya sendiri. Rasanya, tidak perlu sampai berkomentar rasis dengan diksi, “Gangguan Jawa.”
Biarlah ada anggapan kolektif tentang kegilaan Gus Javar yang dalam bahasa mereka artikan sebagai kedekatan pada Yang Mutlak. Sehingga, outfit-nya bukan sekadar simbol ketidakpatuhan, melainkan tanda bahwa ia telah melebur dalam ekstase spiritual—seperti para sufi yang menari di tepi jurang Ilahi.
Begitu pula dengan ketokohan Don Quixote. Dalam balutan kegilaannya, justru ia menjadi legenda sastra yang penuh alegori dan metafora tentang perang antara jiwa manusia dan kesombongan materialisme.
Bahkan Diogenes, dengan gaya hidupnya yang “biadab,” dianggap oleh pengikutnya sebagai sosok yang mencapai kebebasan sejati—seperti biji mustard yang harus diinjak-injak dulu sebelum mengeluarkan aromanya. Dari Diogenes, dunia filsafat kelak mengenal istilah sinisme.
Sekali Lagi tentang Kegilaan
Bagi Diogenes, “kegilaan” adalah alat untuk mengungkap kebohongan sistem nilai yang dianggap sakral. Don Quixote yang dianggap sinting oleh tetangganya justru dikenang sebagai pahlawan paling tragis dalam dunia sastra. Begitu pula dengan Gus Javar, yang meskipun terkesan ngelantur saat berbicara, tetap saja sering diminta memberikan ceramah di depan umum.
Rasanya, di sini “gila” hanyalah label yang ditempelkan oleh rezim kebenaran yang dominan. Mungkin saja Foucault benar: jika normalitas adalah alat kontrol, maka ketiga tokoh ini membongkar kontrol itu—dengan tertawa.
Epilog
Sejatinya, Gus Javar, Don Quixote, dan Diogenes mengajak kita pada permainan cermin yang filosofis. Jika kegilaan adalah konstruksi sosial, bukankah kewarasan kita sendiri juga fiksi? Jika makna hidup harus kita ciptakan sendiri, bukankah setiap manusia pada dasarnya adalah seniman—atau penipu ulung?
Di jalanan tempat Gus Javar melintas dengan motornya, di ladang tempat Don Quixote bertarung, dan di pasar tempat Diogenes mengacungkan lentera, kita semua diam-diam sedang mengukur: apakah kita cukup berani menjadi “gila” versi diri sendiri, atau tetap menjadi penjaga tembok normalitas yang tak pernah kita pahami?
Pada akhirnya, mereka bukanlah teka-teki untuk dipecahkan, apalagi sekadar objek untuk dihujat dan ditertawakan. Mereka adalah cermin retak yang memantulkan pertanyaan abadi: di rimba makna yang saling bertabrakan, siapakah yang lebih sinting—mereka yang menciptakan dunianya sendiri, atau kita yang diam-diam iri pada keberanian mereka?
Ah, membayangkan Diogenes berkata, “Kewarasan adalah topeng yang dipakai kegilaan agar diterima di pesta-pesta beradab,” dari dalam tongnya, sambil tersenyum pada Gus Javar dan Don Quixote yang melintasi zaman.