Menjadi penulis lepas tampaknya telah menjadi alternatif profesi yang diidamkan sebagian anak muda zaman sekarang. Ini tentu merupakan tren yang positif. Artinya mereka punya gairah literasi yang tinggi, sebab untuk bisa menjadi penulis yang mumpuni harus dilambari kebiasaan membaca, bukan?
Tren menjadi penulis lepas ini bisa dilihat dari maraknya kelas-kelas menulis online, baik yang gratisan maupun yang berbayar. Juga bisa dilihat dari banyaknya platform media online nasional. Banyak penulisnya yang dari kalangan usia muda. Bahkan, banyak diantara mereka yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa berkualitas jempolan. Mereka menawarkan pespektif yang unik dan khas anak muda. Bahasa yang mereka gunakan juga renyah, kemripik, dan enak dibaca. Orang-orang seusia saya yang tadinya malas membaca saja bisa tertarik untuk menengok, kok.
Tapi, mau itu pemula/yang tidak pemula tentu saja akan selalu akrab dengan kesalahan. Saya sebut sebagai kesalahan ini bukan dengan maksud menggurui, lho. Cuma sekedar sharing saja, syukur-syukur bisa diambil hikmahnya agar menjadi penulis yang lebih baik. Lagian gimana mau menggurui, wong saya juga masih pemula. Meskipun secara usia saya sudah tidak se-unyu mereka:(
Baiklah. Berikut beberapa kesalahan yang sempat saya perhatikan:
1. Pertanyaan yang Jawabannya Sudah Jelas Tertera
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Cara kirim tulisannya gimana ya, Kak?” Kesalahan yang satu ini fatal banget bagi para penulis pemula. Lha iya, yang namanya penulis itu kan harus punya wawasan luas tentang apa yang dia tulis. Untuk memperkaya wawasan tersebut tidak ada cara lain selain membaca. Ibaratnya membaca adalah fondasi utama bagi para penulis. Masak deskripsi ketentuan pengiriman tulisan saja ndak bisa mencerna? Cing atuh lah, literate dikit.
Lagi pula, pertanyaaan jenis ini pasti menyebalkan bagi admin maupun redaktur. Bayangkan saja kalau setiap hari ada 10 penulis pemula yang baru join, dan semua melemparkan pertanyaan yang sama. Dalam seminggu redaktur harus menjawab “Sila baca di deskripsi ya, Kak. Keterangannya ada di deskripsi,” sebanyak 70 kali. Buang-buang waktu saja.
2. Tidak Memperhatikan Tenggat Tulisan
Kesalahan kedua yang sering terjadi adalah soal jangka waktu konfirmasi email. Masing-masing platform punya jangka waktu yang berbeda. Ada yang seminggu, ada yang 10 hari, dan ada yang 2 minggu. Yang jelas ketentuan tenggat ini selalu dimuat di deskripsi Cara Pengiriman Tulisan. Kadang ada yang mencantumkan ketentuan “Jika dalam jangka waktu tersebut tidak ada notifikasi, artinya tulisan kamu ditolak. Kamu bebas mengirimkan ke media lain.”
Para kontributor sering abai dengan deadline ini. Banyak diantara mereka yang rewel dan ngrecokin admin dengan pertanyaan-pertanyaan konyol semacam “Emailku kok gak dibalas, Min?”, “Kapan tulisanku tayang, Min?” atau “Admin jahat, gak mau balas emailku.” Meuni ih pikaseubeuleun teuing. Mbok ya sabar, cobalah hitung tenggat waktumu sendiri.
3. Over Suspicious kepada Admin dan Redaktur.
Mungkin beberapa pembaca ada yang heran: masak sih ada penulis yang curigaan sama redaktur? Jangan salah, ada lho jenis penulis yang beginian. Ada penulis yang mengira redaktur memberi perlakuan khusus kepada kontributor tertentu, terutama yang dari lingkar pertemanan redaktur sendiri.
Eh gaes, ini jagad kepenulisan lho, ya. Bukan hubungan percintaan kayak di sinetron Nusacanda yang penuh intrik dan prasangka. Ingatlah bahwa kontributor yang diurusi redaktur itu ratusan, laen maneh sorangan.
4. Terlalu Berharap
Mempunyai harapan itu baik, bisa menjadi semangat bagi seseorang dalam melanjutkan kehidupan. Tapi jika pengharapan tersebut terlalu besar, akibatnya bisa ndak rasional. Contohnya penulis pemula yang hanya mengirimkan satu tulisan saja, kemudian berharap langsung ditayangkan esok harinya. Itu yang gak masuk akal. Lha wong penulis yang sudah senior saja masih berpeluang tulisannya direject, kok.
Untuk meminimalisir kesalahan ini cobalah mengirimkan tulisan yang banyak. Mungkin kamu bisa mencontoh tips garangan professional dalam mengumbar tembakan ke cewek. Jika kamu kirim 10 tulisan misalnya, ditolak 7 kalipun tidak akan terlalu jadi masalah. Setidaknya ditolak ping pitu tapi masih bisa diterima ping telu.
5. Ambekan
Gede ambek ini ada hubungannya dengan terlalu berharap tadi. Ketika harapannya tidak terpenuhi, mereka jadi ngambek. Dalam bahasa Jawa disebut mutung, kalau di Sunda sebutannya pundung, tidak mau mengirimkan tulisannya lagi. Kemudian keluar dari grup tanpa permisi lagi (beberapa platform menyediakan grup WA dan telegram untuk kontributor).
Ini jenis kesalahan yang childish sekali. Mungkin karena faktor usia yang masih belasan tahun, hingga masih ada sisa sifat kekanak-kanakan. Kalau kamu ingin jadi penulis yang baik ya jangan begitu lah. Harus tahan banting dan kuat mental.
6. Menuntut Alasan Tulisan Ditolak
Beberapa kawan penulis malah menuntut yang aneh-aneh kepada redaktur. Mereka menuntut agar diberitahu letak kekurangan tulisannya sehingga ditolak. Parahnya lagi, mereka minta saran perbaikan terhadap tulisannya. Tuntutan yang jelas-jelas sudah offside banget.
Hellowww. Ieu teh platform media online ya geuliiis, kaseeep. Kalau mau saran dan masukan mengenai tulisanmu ya ikut Kelas Menulis Online sana. Kalau ditolak redaktur itu artinya jelas, tulisanmu belum layak untuk ditayangkan. Soal bagaimana menjadikannya layak tayang itu urusanmu, bukan tanggung jawab redaktur.
Nah, itu tadi beberapa kesalahan pemula yang sempat saya perhatikan. Sekali lagi saya tidak bermaksud menggurui, karena cukuplah di sekolah saja saya jadi guru. Semoga bisa menjadi bahan introspeksi dan menyemangati sobat nyimpangers jadi penulis yang mumpuni. Sekian dan terima gaji. Hidup editor Nyimpang! Woooooo!