Potret Kelas Sosial dalam Perkeretaan Jakarta

Untuk kamu yang buta akan peta Jakarta terlebih transportasi umumnya, berikut saya buat sedikit gambaran.

Sejauh ini, saya baru mengetahui setidaknya tiga tranportasi umum di Jakarta, yaitu:

  1. KRL
  2. MRT
  3. LRT

Eh, maaf nambah 1 dengan Transjakarta.

Sebagai informasi, saya jarang sekali naik kereta sebelum menjadi warga Jakarta. Hanya beberapa kali semasa SMA dan sekali dengan Bapak saya, Yusuf. Tapi seingat saya, adik laki-laki saya sangat menyukai kereta, dan dalam hal ini, saya gak tahu penyebab beberapa (kebanyakan) anak kecil sangat tergila-gila pada kereta.

Waktu rumah kami di Kosambi dan Gang Artis masih dibuka, adik laki-laki saya selalu merengek mau lihat kereta api. Ayah lalu selalu mengajaknya ke Stasiun Kosambi setiap pulang kerja.

Tak jarang juga Ayah secara spontan membawa adik laki-laki saya mengelilingi kota dengan kereta. Maklum, zaman dulu kita tidak usah bayar/beli tiket buat naik kereta.

PIntar-pintarnya kita saja mengumpat waktu datang tukang tiket. Pun, harga tiket kereta dari Kosambi ke Kota Tua hanya Rp2.500,-

Ya! Saya melakukan perjalanan ini dengan Bapak saya. FYI, dulu, saya dibawanya naik kereta dan mengelilingi Kota Tua. Melihat masuk ke dalam setiap museum di area Kota Tua. Melihat lukisan Jeihann dan Affandi/

Saya bahagia sekali, lalu kami juga naik bajaj, dan makan bubur di depan kantor asuransi di Jl. Kwitang. Saya menikmati perjalanan itu, tapi saya gak beitu suka naik kereta. Meskipun waktu masih SMA dulu, saya dan teman0teman sekelas saya suka naik kereta. Terutama pada hari Jumat, karena sekolah cenderung lebih santai.

Saya hanya tinggal ke Stasiun Kosambi, menelusuri gerbong untuk menemui teman-teman saya yang sudah berangkat duluan dari Stasiun Cikampek dan Dawuan, dan kami tidak pernah membeli tiket. Naik ya naik saja. Ketika muncul tukang tiket (yang sangat jarang itu), kami hanya tinggal terus lurus saja berjalan ke gerbong barang atau menahan hidung untuk mengumpat di toilet. Haha. Menyenangkan.

Pada penghabisan tahun 2024, saya memulai perjalanan baru saya di Jakarta. Saya tidak tahu kalau transportasi umum sudah dirombak sedemikian rupa sama si Jonan-Jonan itu, tapi yang jelas, saat ini saya baru tau kereta ekonomi 2 macam.

Dari Cikampek ke Jakarta, kita bisa punya dua pilihan.

  1. Kereta Langsung (antarkota) -> yang akan berhenti di Stasiun Senen. Kereta ini tidak berhenti di setiap stasiun, hanya berhenti di stasiun besar saja seperti Purwakarta, Cikampek, Bekasi, Cikarang, Jatinegara, dan Senen. Kereta ini berangkat dari Purwokerto. Kalau tidak salah, harga tiket kereta antarkota ini Rp49.000,- dan Rp63.000,-
  2. Kereta Tidak Langsung (lokal atau sebut saja ngeteng) -> FYI, seperti yang saya tulis, kereta tidak langsung ini disebut juga kereta loka. Setahu saya, rutenya dari Bandung s.d. Cikarang, dan akan berhenti di setiap stasiun sampai tujuan akhir. Harga tiketnya Rp4.000,= saja.

Dari Purwasari ke Senayan 

Saya jarang naik kereta bukan karena sombong, tapi saya gampang muntah, lagian, saya sering disupiri Yopie Vin Diesel,. Namun suatu hari waktu masih bulak-balik Jkt-Ckp, Pak Yopie ogah nungguin saya yang pulang habis magrib itu. Alhasil, terlantarlah saya.

Dari SCBD, saya harus berjalan kaki ke Stasiun MRT Istora -> Stasiun MRT Dukuh Atas -> berganti KRL (berada di stasiun yang sama, hanya tinggal jalan sedikit) menuju ke Stasiun Jatinegara -> Stasiun Senen -> berganti ke kereta antarkota -> Cikampek.

Melelahkan, bukan?

Tapi setelah saya menetap di Jakarta, saya hanya tinggal berjalan kaki menuju kosan pertama saya. Lalu, kalau zaman saya di Blok M, saya hanya tinggal naik MRT, dan kemudian ketika saya ngekos di Lebak Bulus, saya juga hanya tinggal naik MRT saja. Pokoknya, jalur kosan saya selalu dekat dengan stasiun.

Selama perjalanan di Jakarta dan akhirnya bisa naik kereta tanpa mual karena sering bau pesing, dan saya memiliki beberapa kesimpulan. Anggap saja ini proyek penelitian kecil-kecilan yang ngawur dan sok-sokan, tapi ya setidaknya saya menulis lah:( tipada henteu mah~ 

 

Pengantar Perbedaan Tipe-Tipe Kereta Jakarta

Intinya, mau itu KRL, MRT, atau LRT, semua kereta jarak dekat Jakarta itu menggunakan bahan bakar listrik. Sisanya kereta-kereta antarlokal itu belum ada yang berbahan bakar listrik, ya. Tapi, perbedaan yang mudah diingat adalah begini.

  1. KRL -> jalannya di darat, di jalan tok. 
  2. MRT -> jalannya kadang di darat, di bawah tanah, atau di rel layang.
  3. LRT -> jalannya di rel layang tok. 

Saya sebagai orang awam sering ketukar MRT dan LRT, tapi yang jelas keduanya punya jalur berbeda. KRL tentu punya jalur paling banyak, pokoknya menghubungkan semua Jabodetabek. Kalau penasaran buka aplikasi KAI aja, lah.

MRT itu rutenya hanya dari Lebak Bulus s.d. Bundaran HI, sedangkan LRT ada dua rute, yang pertama LRT Jabodebek, dan LRT Jakut (begitulah saya menyebutnya), dan dengan sombong saya katakan, “Saya sudah mencoba semuanya!”

Yang dari pengalaman yang gak seberapa itu, ada satu hal menarik buat saya. Saya lama-lama sadar, bahwa di beberapa waktu, setiap kereta akhirnya punya “penumpang”nya sendiri. Entah itu dari bau parfum yang dipakai para penumpangnya, atau sepatu-sepatu yang dipakai para penumpangnya.

Awal-awal sih saya kira semua kereta sama saja yang penting nyampe. Tapi setelah sering naik, saya mulai melihat bahwa rel-rel itu bukan cuma membelah kota, tapi juga membelah kelas sosial. Anjay~ Ya sebutlah sedikit berlebihan, tapi menurut saya (meskipun tidak mutlak juga), kalau mau belajar tentang Jakarta, jangan cuma buka map dan datang ke tempat-tempat mevvah yang punya ruang laktasi pakai ojol, tapi coba naik kereta. Di situlah kota ini mesiun. Ah, untuk yang awam juga, stasiun Cikarang, Manggarai, dan Jatinegara adalah stasiun transit. Jadi, setiap orang dari semua tempat akan pasti mampir di Stasiun Cikarangmperlihatkan wajah aslinya tanpa sensor, tanpa lagu-lagu empat mata bicara denganmuu kukatakan aku cinta kamuuu seperti di sinetron.

KRL 

KRL menghubungkan semua Jabodetabek, sekali lagi karena ia berhenti di setiap stasiun kecil. Itu yang mengakibatkan stasiun KRL (utamanya stasiun transit) memiliki penumpang yang gak habis-habis.

Kamu selalu bisa melihat orang-orang dengan wajah yang capek, berdiri menunggu KRL di pinggir peron sambil makan cireng keju atau cimol bojot seperti saya:(

Kita bisa membayangkan, setiap orang dari mana-mana pasti akan menumpuk di Cikarang, dan setiap waktu selalu ada yang bertanya pada petugas keamanan untuk bertanya arah.

Selayaknya saya, orang-orang yang transit di Cikarang ini seringnya terdiri dari:

  1. Orang-orang dengan gembolan banyak
  2. Anak-anak dan remaja yang ingin main ke Jakarta
  3. Pekerja PP yang rumahnya sekitar Jakarta, atau
  4. Pemudik atau perantau (musiman)

Di hari kerja, KRL akan dipenuhi orang-orang muda-tua kelas pekerja. Ada yang memakai sandal dan menentang totebag dengan tagar save the world atau tagar-tagar ramah lingkungan lainnya yang berisi sepatu pantofel. Saya ngerti betul bagaimana melewati tangga-tangga dengan terburu-buru tak begitu nyaman kalau pakai pantofel, apalagi yang berhak. Ya iya, soalnya biasanya gak dapet hak~ Ah!

Kalau saya sedang beruntung, saya gak akan dapat KRL yang bau pesing, tapi karena saya seringnya paes, saya pun harus menahan mual karena bau pesing ini percis seperti bau-bau yang ada di kereta lokal.

Omong-omong, kamu akan sering melihat orang berdesakan di KRL, bahkan sampai overload dan pintunya gak bisa nutup. Saya pernah sampai sesak napas saking orang berjejal dan memaksa dirinya masuk-masuk KRL. Maklum lah, selain lama, KRL juga memang sepenuh itu di jam-jam kerja.

Orang-orang tentu takut datang terlambat ke kantor, dan ingin segera bertemu kelarganya di jam pulang, atau mau cepat-cepat pulang ke kosan saja buat isi tenaga begitu shift-nya berjalan lagi.

Di KRL, hampir tidak ada keadilan untuk orang-orang tua. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan, karena bisa jadi mereka memang gak bisa lihat karena saking bertumpuknya penumpang.

Banyak orang muda berkemeja ketiduran di kursinya, atau memang gak kelihatan, atau memang enggan saja berbagi kursi dengan orang yang lebih membutuhkan.

 

MRT 

Di MRT beda lagi. Tidak terlalu berjejal, dan ketika sudah banyak, orang-orang tidak akan memaksakan dirinya masuk.

Bahasa yang digunakan di MRT pun lebih asing. Meskipun saya ngerti English dan Mandarin, dan sering komunikasi bisnis dengan penutur Singlish pun, tapi saya tetap kesulitan memahami kalimat,

Yaaa menurut gue itu tuh kek … kek … kek …

Wicis gue sih lebih prefer … “

Yang tanpa berniat sok-sok nasionalis dengan menyukai gaya berbicara dan semua orang kan bebas ya berkomunikasi dengan bahasa apa pun, tapi gaya-gaya ekspresif dan cenderung berisik seperti ini yang sulit saya terjemahkan daripada Singlish.

Di MRT, kita akan lebih mudah melihat orang memberikan kursinya buat orang lain yang kelihatannya lebih tua, sekali lagi, bisa jadi karena lebih lowong ya, dan ah! Bahkan berbuat baik saja kita gak boleh desak-desakan di kereta! Seolah-olah tak ada ruang untuk pengguna KRL untuk berbuat baik tapi ya, begitu lah.

 

LRT

LRT yang saya naiki sebatas LRT Jakut saya. Itu pun pendek sekali, hanya ada 2 gerbong, dan tak pernah penuh juga. Jadi, saya gak bisa komentar apa-apa.

 

Sedikit tentang TransJakarta (TJ)

Transjakarta secara fungsi lebih mirip KRL, hanya saja ini berbentuk bus dan bukan kereta. Rutenya panjang dan komplek juga. Berhenti di setiap halte kecil.

 

Elemen Pekerja dan Fasilitas di Tiap Transportasi

Di setiap tempat naik transum (transportasi umum), kita akan selalu dibantu oleh petugas keamanan dan petugas penjaga gate tiket.

Di KRL, setiap petugas keamanan dan petugas tiket selalu bekerja karena selalu ditanyai, saking banyaknya pengguna. Di MRT, hanya penuh di jam-jam tertentu seperti jam berangkat atau jam pulang kerja, dan di LRT lebih gabut lagi (yang Jakarta Utara ya). Nah, kalau di Transjakarta sebetulnya lebih enak karena petugasnya bertugas untuk jadi kenek, dan itu sangat membantu penumpang.

Speaker di KRL sering mati, jadi kamu harus hati-hati dan tetap waspada biar gak salah turun stasiun, karena seringnya speaker juga tiba-tiba mati pas lagi nyebutin nama stasiun selanjutnya. Speaker MRT dan LRT bagus.

Terlepas dari semua elemen itu, fasilitas yang tetap stabil dan sama baiknya di semua transum adalah AC. Dingin terus, mules saya.

Hm, lalu oh! Stasiun.

Stasiun MRT adalah stasiun paling futuristik sejauh ini. Rapi, bersih, tertutup, dan yang paling mencolok: paling dingin.

Untuk orang-orang yang tidak terbiasa dengan suhu rendah/udara AC seperti saya, saya sarankan untuk memakai jaket/baju lengan panjang. Ngomong-ngomong, di MRT, ada juga petugas keamanan yang berjaa dan selalu berkeliling peron untuk menjaga orang supaya tidak duduk/jongkok.

Kalau stasiun lagi sepi, saya selalu iseng. Jahat memang. Saya selalu berpura-pura membenarkan tali sepatu saya karena pegal berdiri terus. Lalu saya lama-lamain saja, dan ketika satpam berjalan dan menghampiri saya, saya langsung berlagak berdiri dan mengangkat kaki saya seolah talinya sudah sangat siap.

“Halo, Pak!” sapa saya

Satpam yang taidnya berniat menegur pun langsung menempelkan kedua telapak tangannya dan tersenyum menyapa saya.

Untuk satpam peron MRT Istora, saya minta maaf kalau terlalu sering melakukan ini. Saya cuma ingin melihat Bapak tersenyum saja!

Author

  • Arini Joesoef

    Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like